ANALISIS PERKARA MK NO. 01/PHPU.PRES/17/2019 MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA PEMILIHAN PRESIDEN 2019

Berbicara mengenai Sengketa PHPU Pilpres yang akhir-akhir ini mengundang perhatian masyarakat, dimana kubu Badan Pemenangan Nasional (BPN) yang berlaku sebagai pemohon, merasa ada kecurangan dalm pelaksanaan Pemilu 2019 khususmya Pilpres sehingga pelaksanaan pemilu pada tahun 2019 ini dirasa tidak memenuhi asas jurdil (jujur dan adil). Mereka mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi unutk membatalkan hasil penetapan pemilihan presiden 2019 yang diumumkan oleh KPU yang memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Berikut ini akan dijelaskan beberapa dasar permohonan yang diajukan oleh BPN yang penulis ambil dari permohonan pemohon yang diregistrasi pada tanggal 24 Mei dikarenakan pada saat penulis menulis artikel ini permohonan yang diregistrasi tanggal 11 Juni belum dipublikasikan sehingga penulis tidak dapat menemukan permohonan tertanggal 11 juni tersebut, dengan demikian maka jawaban pihak termohon dan terkait yang akan penulis sampaikan adalah jawaban mengenai surat permohonan yang diregistrasi tanggal 24 Mei..
1. Dasar permohonan BPN dalam mengajukan permohonan, dan argumentasi pihak termohon (KPU) dan terkait (TKN Jokowi-Ma’ruf)!
Telah terjadi kecurangan secara Sistematis, Terstruktur, dan Masif
“Yang dimaksud dengan "pelanggaran terstruktur” adalah kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama.
Yang dimaksud dengan “pelanggaran sistematis" adalah pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi.
Yang dimaksud dengan “petanggaran masif“ adalah dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil pemilihan bukan hanya sebagian.
Berangkat dari dasar pijak di atas, bahwa presiden petahana berpotensi terjebak dengan praktik kecurangan pemilu, maka berikut ini kami jabarkan dan buktikan bagaimana kecurangan yang Sistematis, Terstruktur, dan Masif dilakukan oleh Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo dan KH. Ma'ruf Amin, sehingga Pasangan Capres dan Cawapres 01 tersebut harus dibatalkan (diskualifikasi) sebagai peserta Pilpres 2019, dan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, harus dinyatakan sebagai pemenang Pilpres 2019; atau paling tidak Pilpres 2019 diulang secara nasional.
Bentuk pelanggaran pemilu dan kecurangan masif yang dilakukan adalah:
a. Penyalahgunaan Anggaran Belanja Negara dan/Program Kerja Pemerintah
b. Ketidaknetralan Aparatur Negara: Polisi dan Intelijen
c. Penyalahgunaan Birokrasi dan BUMN
d. Pembatasan Kebebasan Media dan Pers
e. Diskriminasi Perlakuan dan Penyalahgunaan Penegakkan Hukum
Kelima jenis pelanggaran dan kecurangan itu semuanya bersifat sistematis, terstrukturdan masif, dalam arti dilakukan oleh aparat struktural, terencana, dan mencakup dan berdampak luas kepada banyak wilayah Indonesia. Berikut adalah penjelasan lebih detail dari pelanggaran dan kecurangan tersebut
A. Ketidaknetralan Aparatur Negara: Polisi dan Intelijen
Badan Pemenangan Prabowo Sandi selaku penggugat  merasa bahwa sebelum, selama, dan sesudah masa pemilu aparat penegak hukum melakukan berbagai paya untuk memenangkan pasangan Jokowi Ma’ruf hal ini dilihat dari sikap kepolisian yang dalam menjalankan tugasnya tidak berlaku adil, kemudian BPN Prabowo Sandi menemukan berbagai fakta yang mengindikasikan sikap tidak netral pihak kepolisian dalam rangka memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf sebagai berikut:
1) Ketidaknetralan kepolisian.
Meskipun mengesankan netral, sebenarnya keberpihakan Polri kepada Pasangan Capres dan Cawapres 01 terlihat jelas dalam banyak kejadian dan merata di seluruh wilayah Indonesia. Pada saatnya, pada sidang pembuktian. kami akan menghadirkan alat bukti yang menguatkan dalil tersebut. Untuk kepentingan permohonan ini. kami tidak akan mengungkapkannya secara rinci, satu dan lain hal, untuk menjaga keamanan dan keselamatan alat—alat bukti tersebut. Meskipun demikian, pada kesempatan awal ini, kami hanya akan menguraikan beberapa bukti yang sudah pernah muncul dalam pemberitaan, dan karenanya sudah diketahui oleh khalayak luas.
Bahwa salah satu bukti ketidaknetralan polisi adalah adanya pengakuan dari Kapolsek Pasirwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, AKP Sulman Azis yang mengaku diperintahkan untuk menggalang dukungan kepada Pasangan Calon nomor 01 Joko Widodo—Ma'ruf Amin oleh Kapolres Kabupaten Garut. Perintah serupa juga diberikan kepada kapolsek lainnya di wilayah Kabupaten Garut, AKP Sulman mengatakan Kapolres Kabupaten Garut Juga pernah menggelar rapat dengan para kapoisek di wilayahnya pada sekitar bulan Februari 2019. Dalam rapat tersebut, perintah menggalang dukungan diberikan. Pen'ntah pendataan dukungan masyarakat kepada 01 dan 02 pun diberikan. Para kapolsek, diancam akan dimutasikan jika paslon 01 kalah di wilayahnya (Bukti P—11).

Kemudian BPN menemukan bukti lain bukti yang mengindikasikan ketidaknetralan Polri lainnya yaitu, dugaan kuat institusi Polri membentuk tim buzzer di media sosial mendukung pasangan calon Joko Widodo - Ma'ruf Amin. Hal ini terlihat dari bocoran informasi yang diungkap oleh akun twitter QOpposite6890 yang mengunggah beberapa video dengan narasi 'polisi membentuk tim buzzer 100 orang per polres di seluruh Indonesia yang terorganisir dari polres hingga mabes'. Disebutkan bahwa akun induk buzzer polisi bemama 'Alumni Sambhar' yang beralamat di Mabes Polri. Akun lnstagram QAlumniShambar juga hanya memfollow satu akun, yaitu akun lnstagram milik Presiden Joko Widodo, sehingga indikasi ketidaknetralan polisi menjadi makin terang. Selain itu, aplikasi APK SAMBHAR menggunakan alamat IP milik Polri dimana aplikasi tersebut wajib diinstal oleh para buzzer polri di perangkat android masing-masing.

2) Ketidaknetralan aparat Intelijen.
Ketidaknetralan badan intelijen negara juga pernah dikemukakan oleh Mantan Presiden Ke 6 Susilo Babang Yudhoyono yang sekaligus merupakan Ketua Umum Partai Demokrat yang tergabung kedalam Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi. Berikut ini pernyataan SBY akan disampaikan:
"Tetapi yang saya sampaikan ini cerita tentang ketidaknetralan elemen atau oknum, dari BIN, Polri, dan TNI itu ada, nyata adanya, ada kejadiannya, bukan hoaks. Sekali lagi ini oknum,“ kata SBY dalam jumpa pers di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (23/6/2018). "Selama 10 tahun saya tentu kenal negara, pemerintah. BIN, Polri, dan TNI. Selama 10 tahun itu lah doktrin saya, yang saya sampaikan, negara, pemerintah, BIN, Polri. dan TNI netral," ujarnya.
SBY menyatakan dirinya berani menyampaikan hal ini lantaran memiliki bukti dan mengetahui kejadian tersebut dari laporan orang-orang yang ada disekitarnya. Untuk itu, SBY memberanikan diri mengungkapkan ini mewakili rakyat yang merasa khawatir untuk bicara lantang. "Mengapa saya sampaikan saudara—saudara ku. Agar BIN, Polri, dan TNI netral. Karena ada dasarnya, ada kejadiannya," ujarnya menambahkan (Bukti P- 13).
Ketidaknetralan Polri dan BIN atau intelijen yang secara langsung dan tidak langsung bertindak menjadi “Tim Pemenangan” Pasangan Calon 01, nyata-nyata telah menciptakan ketidakseimbangan ruang kontestasi. Karena akhirnya Pasangan Calon 02 bukan hanya berkompetisi dengan Pasangan Calon 01, tetapi juga dengan Presiden petahana, yang diback up oleh aparat Polri dan Intelijen. Hal demikian, tentu saja melanggar prinsip pemilu yang jujur dan adil, dan merupakan pelanggaran dankecurangan yang harus dinyatakan Sistematis, Terstruktur dan Masif.

B. Diskriminasi Perlakuan dan Penyalahgunaan Penegakkan Hukum
Bahwa indikasi kuat pelanggaran dan kecurangan dalam Pilpres 2019 lainnya adalah adanya diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakkan hukum yang bersifat tebang pilih ke salah Pasangan Calon 02 saja, dan tumpul ke Pasangan Calon 01. Perbedaan perlakuan penegakan hukum yang demikian, di samping merusak prinsip dasar hukum yang berkeadilan, tetapi juga melanggar HAM, tindakan sewenang-wenang, dan makin menunjukkan aparat penegak hukum yang berpihak dan bekerja untuk membantu pemenangan Pasangan Calon 01, melalui penieratan masalah hukum yang mengganggu kerja dan konsolidasi pemenangan Pasangan Calon 02.
Adapun beberapa bukti-bukti terkait Perlakuan dan Penyalahgunaan Penegakkan Hukum tersebut dapat kami sampaikan sebagai berikut:
a. Pose dua Jari di Acara Gerindra, Anies Terancam 3 Tahun Penjara (CNNindonesla, 07 Januari 2019 ). Ketua Bawaslu Kabupaten Bogor, Irvan Firmansyah, menduga Pose dua Jari anies di acara konferensi Gerindra sebagai tindakan pejabat yang menguntungkan salah satu calon dan melanggar Pasal 547 UU Pemilu (Bukti P—31, Copy Terlampir)
Peristiwa ini terjadi pada masa setelah penetapan calon serta merupakan bentuk perbedaan perlakuan oleh Penyelenggara Pemilu dalam menangani dugaan pelanggaran
b. Pose Jari Luhut dan Sri Mulyani Bukan Pelanggaran Pemilu (Tempoco, 06 November 2018). Ketua Bawaslu, Abhan Misbah, menyatakan Pose Jari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, bukan merupakan pelanggaran Pemilu setelah melakukan pembahasan dengan Badan Reserse Kriminal Mabes Polri,'Kejaksaan RI dan Klarinkasi ke KPU (Bukti P-14).
Peristiwa ini terjadi pada masa setelah penetapan calon serta merupakan bentuk perbedaan perlakuan oleh Penyelenggara Pemilu dalam menangani dugaan pelanggaran
c. Kades di Mojokerto dituntut 1 Tahun Percobaan karena Dukung Sandiaga (Detiknews.com, 11 Desember 2018). Kepala Desa Sampangagung,KutorejoMojokerto, Suhartono, Dituntut 6 Bulan Penjara dengan 1 Tahun masa Percobaan karena mendukung Sandiaga (Bukti P-15).
Peristiwa ini terjadi pada masa setelah penetapan calon serta merupakan bentuk perbedaan perlakuan oleh Penyelenggara Pemilu dalam menangani dugaan pelanggaran
d. Bawaslu Setop Kasus 15 Camat Makassar Deklarasi Dukung Jokowi (CNNlndonesta, 12 Maret 2019). Ketua Bawaslu Sulsel, Laode Ammahi, memutuskan menghentikan kasus dugaan pelanggaran Pemilu oleh 15 Camat di Makassar yang terekam Video Deklarasi Dukung Jokowi karena tidak terbukti dan tidak memenuhi syarat ikut kampanye (Bukti P-16).
Peristiwa ini terjadi pada masa setelah penetapan calon serta merupakan bentuk perbedaan perlakuan oleh Penyelanggara Pemilu dalam menangani dugaan pelanggaran
e. 15 Gubernur Tegaskan Dukungan Kepada Jokowi—Ma'ruf di Pilpres 2019 (Liputan6,com, 12 September 2018) Mereka diantaranya Gubemur Sumatera Selatan Herman Deru, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Timur Khohfah Indar Parawansa, Gubernur Bali Wayan Koster, Gubernur NTB Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi, Gubernur Nl'l Viktor Laiskodat, Gubernur Papua Lukas Enembe, Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi, Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey, Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak, Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran, Wakil Gubernur Terpilih Maluku Utara Rivai Umar, menyatakan Dukungan Kepada Jokowi-Ma'ruf dalam Pilpres 2019 (Bukti P-19).
Peristiwa ini terjadi pada masa verifikasi administratif, belum penetapan calon serta merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan Calon 01

C. Penyalahgunaan Birokrasi dan BUMN
Jokowi sebagai petahana dalam hal ini telah diduga melakukan menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power) sebagai Presiden dan diduga telah memanfaatkan dan menggerakkan birokrasi dan sumberdaya badan usaha milik Negara (BUMN) untuk mengkampanyekan dirinya agar terpilih kembali dan juga untuk mendukung pemenangan pasangan calon 01. Adapun beberapa contoh rangkaian pelanggaran dan kecurangan tersebut dapat kami sampaikan sebagai berikut:
a. Jokowi mendapat Dukungan Saat Hadiri Silaturahmi Nasional Kepaia Desa (Suaracom. 10 April 2019). Presiden Jokowi mendapatkan dukungan berupa teriakan “Ayo Lanjutkan Pak Jokowi” dan "Pemalang, Jokowi Menang, Jawa Tengah Siap" saat menghadiri Silaturahmi Nasional Kepala Desa 2019 di Stadion Tenis lndoorJakarta yang turut dihadiri Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Menteri Koordinator Bidang Politik,Hukum dan Keamanan Wiranto, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (Bukti P-24).

b. Pameran Mobil jadi Kampanye tagar Jokowi2Periode (Detikoto, 02 Agustus 2018).
Menteri Perindustrian, Airlangga Hartanto, dalam Pameran Gaikindo international Auto Show ( GIIAS) 2018 menyatakan .. " saya cek kepada industriawan, masyarakat industri siap Bapak Presiden dua Periode". (Bukti P-25)
Peristiwa ini terjadi pada saat Tahapan sebelum Pencalonan, namun sudah melakukan kegiatan Kampanye untuk memenangkan Caton 01

c. ASN Jangan Netral: Sampaikan Program Pak Jokowi (lDNNewsid, 03 Maret 2019). Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, menyatakan Aparatur Sipil sebagai birokrasi tidak boleh Netral, Tapi harus tegak lurus dengan atasannya, Termasuk kepada Presiden Juga, Pak Jokowi (Bukti P-27).
Peristiwa ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada Tahapan Kampanye

d. Jokowi Minta Perwira TNI-Potri Sosialisasikan Program Pemerintah (Tempoco, 24 Agustus 2018). Presiden Joko Widodo, saat di Istana Negara meminta Perwira Kepolisian Republik Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia untuk membantu mensosialisasikan program pemerintah kepada Masyarakat (Bukti P-ZB).
e. Satpol PP diminta Kampanyekan Jokowi (Jawa Poscom, 30 Januari 2019). Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo , dalam Rakornas Satpol PP dan Satlinmas , di hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara, Meminta Satpol PP sebagai bagian dan' Pemerintah mengkampanyekan Presiden Joko Widodo (Bukti P-30).
Peristiwa ini terjadi pada saat Ta'hapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada Tahapan Kampanye
Kementerian BUMN Gelar Acara Ulang Tahun sepanjang Maret—April 2019 (Bumntrack.com, 01 Maret 2019). Sekertaris Kementrian BUMN, Imam Apriyanto Putro, menyatakan seluruh BUMN akan menggelar sejumlah kegiatan social dan edukatif yang menarik sepanjang Maret—Apn'l 2019 dan diduga kuat hal ini untuk menarik dukungan masyarakat agar memilih kembali Jokowi sebagai presiden untuk masa periode selanjutnya. (Bukti P-32).
Peristiwa ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada Tahapan Kampanye

D. Penyalahgunaan Anggaran Belanja Negara dan Program Pemerintah
Bahwa Pasangan Calon 01 menyalahgunakan APBN dan Program Pemerintah, yang sifatnya material, untuk meningkatkan etektabilitasnya dalam Pilpres 2019. Tindakan demikian nyata- nyata adalah bentuk vote buying dengan menggunakan anggara negara. Hal demikian tentu saja sangat tidak layak, dan karenanya melanggar prinsip etika bernegara. Karena dilakukan oleh aparat, terencana, dan mencakup wilayah seluruh Indonesia, adalah bentuk pelanggaran dan kecurangan yang sistematis, tertsruktur, dan masif.
Beberapa contoh pelanggaran dan kecurangan tersebut adalah:
a. Kenaikan Dana Kelurahan ( TRIBUNNEWS, 02 November 2018). Janji Dana Kelurahan 3 Triliun akan mulai dicairkan pada Januari 2019, guna kepentingan pembangunan sarana dan prasarana oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani (Bukti P-33)
Peristiwa ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada Tahapan Kampanye
b. Dana Bansos Telah Cair 15.1 Tn'liun Pada Januari 2019 ( Tirto.id,20 Febmari 2019). Sri Mulyani telah Mencairkan Dana Bansos pada Januari 2019 sebesar15.1 Triliun,meningkat 3 (tiga) Kali lipat daripada Januari 2018 yang hanya 5.3 Triliun (Bukti P-34).
Peristiwa ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada Tahapan Kampanye
c. Jokowi Mengakui Pembangunan Infrastruktur untuk Kepentingan Pemilu 2019 (Kompas.com, 27 November 2018). Jokowi saat pertemuan tahunan Bank Dunia 2018 di JCC mengakui bahwa pembangunan infrastruktursalah satunya untuk kepentingan Pemilu 2019 (Bukti 13-35).
Peristiwa ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada Tahapan Kampanye
d. Jokowi Percepat Penerimaan PKH (Program Keluarga Harapan) dari Februari menjadi Januari 2019 (Beritasatu.com, 03 Desember 2018). Jokowi mempercepat penyaluran Penerimaan Program Keluarga Harapan, yang awalnya Febmari 2019 menjadi Januari 2019 (Bukti P-36).
Peristiwa ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada Tahapan Kampanye
e. Bansos PKH 2019 Nilai Diperbesar,Waktu Penyaluran dimajukan (Tirloid, 04 Desember 2018). Mentri Sosial, Agus Gumiwang menyatakan Indeks Bantuan Sosial untuk Program Keluarga Harapan diperbesar sehingga nilai diperbesar juga dan waktu penyaluran dipercepat guna memberantas kemiskinan (Bukti P-37).
Peristiwa ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada Tahapan Kampanye
f. Jokowi Teken Peraturan Pemerintah Gaji Perangkat Desa Setara PNS ll A (Kompas.com, 12 Maret 2019). Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2019 yang mana gaji perangkat desa setara PNS Golongan II A (Bukti P-38).
Peristiwa ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada Tahapan Kampanye

g. Jokowi Janji Gaji Perangkat Desa Setara PNS Golongan lIA (Kompas.com, 14 Januari 2019). Jokowi menjanjikan Gaji Perangkat Desa akan setara PNS Golongan II A dalam 2 Minggu (Bukti P-39).
Peristiwa ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada Tahapan Kampanye
h. THR PNS 2019 kan cair lebih cepat (Tribunkaltim.co, 01 Maret 2019). Sri Mulyani menyatakan sudah berkoordinasi dengan Kementrian Pemberdayaan Aparatur Negara untuk THR PNS pada tahun 2019 (Bukti P-41).
Peristiwa ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada Tahapan Kampanye
i. Rapelan Kenaikan Gaji PNS (Liputan6.com, 01 April 2019). Jokowi menyatakan akan mencairkan Kenaikan Gaji PNS, yang dihitung sejak Januari 2019 (Rapelan) dan para\ PNS akan menerima Gaji ke -13 dan ke—14 yang akan diberikan menjelang Lebaran (Bukti P-42).
Peristiwa ini terjadi pada masa Kampanye namun, materi yang disampaikan merupakan program pemerintah untuk kepentingan Calon 01
j. Gaji PNS akan dinaikkan Mulai April,.lanuari-Maret dirapel (Cnn Indonesia, 07 Desember 2018). Kementerian Keuangan menyebutkan akan menaikkan gaji PNS sebesar 5% pada April 2019, dimana kenaikan Gaji Bulan Januari-Maret 2019 akan diberikan secara Rapelan (Bukti P-43).
Peristiwa ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada Tahapan Kampanye
k. Jokowi menyatakan Gaji PNS Naik Awal April sekaligus Gaji ke-13 dan ke—14 (Kompas.com, 08 Maret 2019).
Presiden Jokowi Menyatakan kenaikan Gaji Pegawai Negeri Sipil akan direalisasikan paling lambat awal April 2019, dimana saat ini Peraturan Pemerintahnya sedang disiapkan (Bukti P-44).
Peristiwa ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada Tahapan Kampanye

Bahwa dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan tersebut, dengan support dari APBN, sekilas itu adalah program pemerintah biasa. Namun jika ditelaah lebih jauh, maka akan terlihat bahwa program—program itu dari segi momentum dan kebiasaannya atau rutinitasnya, adalah merupakan bentuk strategi pemenangan Pasangan Calon 01. Program dan anggaran mana yang penggunaannya merupakan pelanggaran atau kecurangan pemilu yang sistematis, terstnrktur, dan masif. Meskipun akan diargumenkan anggaran demikian memang digunakan untuk program pemerintah, sebenarnya akan tidak sulit untuk membuktikan bahwa itu adalah bentuk vote buying yang dilakukan Pasangan Calon 01, melalui posisinya yang juga adalah presiden petahana. Lebih jauh money politic yang demikian, nyata-nyata dilarang dalam Pasal 286 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, terlebih karena Pasangan Calon Presiden/Wakil Presiden 01 telah menjanjikan dan atau memberikan uang atau materi lainnya dengan menggunakan anggaran negara untuk mempengaruhi pemilih.
E. Pembatasan Kebebasan Media dan Pers
Dalam kehidupan berdemokrasi, kebebasan pers adalah salah satu prinsip dari demokrasi. Yang terjadi saat ini media menjadi subordinat dari kekuasaan. Bahkan saat ini pemilik media tengah mengalami kondisi yang dilematis di antara peran sebagai pilar keempat demokrasi dan bisnis. Yang jelas, dalam pilpres 2019, pemilik media coba diarahkan untuk memperkuat pasangan Jokowi - Marqumin.19 Jelas ini sangat merugikan publik karena akan mendapatkan informasi yang distorsif.
TELAH terjadi upaya secara terstruktur. sistematis dan massif terhadap pers nasional, dengan tujuan, menguasai opini publik. Media kritis dibungkam, sementara media yang pemiliknya berafiliasi kepada kekuasaan, dijadikan media propaganda untuk kepentingan kekuasaan. Tindakan-tindakan Pemerintah yang membatasi kebebasan pers serta akses media kepada Paslon 02 dapat dilihat dari berbagai bukti berikut ini:
1. Berita Reuni 212 tidak diliput media mainstream
Dalam sebuah peristiwa akbar yang dihadiri oleh jutaan orang seharusnya layak menjadi berita dan layak dikonsumsi publik. Namun ternyata tidak diliput sehingga menimbulkan pertanyaan dari PEMOHON. Bahkan panitia acara juga melayangkan protes ke Komisi Penyiaran lndonesia karena ketidakadilan ini. Tekanan dari penguasa yang tak lain adalah calon presiden membuat media tidak berkutik sama sekali (Bukti P- 52).
2. Pembatasan Tayangan TV One
Ada beberapa acara yang dibatasi sehingga tidak tayang. Sebagai contoh adalah acara lndonesia Lawyer Club (lLC) yang harus tidak tayang sampai waktu yang tidak dtentukan. Kami ilyas sebagai host acara lLC memberikan pernyataannya di akun sosial media—nya di twitter (Bukti P—53).
3. Pemblokiran situs jurdil (CNN lndonesia, 22 April 2019)
Situs jurdi12019.org telah diblokir Kementerian Komunikasi dan Informatika atas permintaan Bawaslu. Situs itu diduga telah menyalahgunakan izin yang diberikan dengan mempublikasikan hasil hitung cepat Pilpres 2019 (Bukti P-54).
Dalam pilpres 2019, pers tidak bebas untuk memberitakan Paslon 01 dan Paslon 02 secara bebas. Yang lebih parah memang adanya media yang sudah nyata-nyata menjadi pendukung partisan Paslon 01, sedangkan yang lain dikekang untuk tidak bebas memberitakan berita baik dari 02. Hal demikian akan lebih tegas dan jelas kami buktikan dalamsidang pembuktian dengan menghadirkan alat-alat bukti yang diperlukan. Yang pasti ketidakberimbangan pemberitaan tersebut adalah bentuk penekanan, dan karenanya kecurangan dalarn pilpres 2019, karena tidak menghadirkan ruang kontestasi yang berimbang di antara kedua pasangan calon yang bersaing dalam pilpres.
Kelima penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) tersebut dapat dilakukan karena Joko Widodo juga adalah Presiden yang masih menjabat (incumbent), dan menghadirkan Paslon 01 yang menyalahgunakan fasilitas, anggaran, lembaga, dan aparatur negara untuk kemenangannya. Tindakan yang demikian, sekali lagi adalah pelanggaran dan kecurangan yang sistematis, terstruktur dan masif, dan karenanya perlu dihukum dengan sanksi yang berat.

Selain kecurangan dalam bentuk kualitatif  BPN juga mengajukan bentuk kecurangan kuantitatif, yang merupakan poko bagi pihak termohon dalam mengajukan permohonan ke MK.
A. Daftar Pemilih Tetap Tidak Masuk Akal
1) Terbukti ada Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang tidak masuk akal karena ketidakwajarannya
berjumlah 17,5 juta yang terdiri dari 3 kelompok, yaitu:
Pertama, data kelahiran yang bertanggal 01 Juli sebanyak 9.817.003 orang;
Kedua, data kelahiran yang bertanggal 31 Desember sebanyak 5.377.401 orang;
Ketiga, data kelahiran yang bertanggal 01 Januari sebanyak 2.359.304 orang;
Data di atas hanyalah menunjukkan sebagian ketidakwajaran DPT.
Misalnya saja, ada beberapa TPS, yang seharusnya hanya maksimal sekitar 300 pemilih. Tetapi faktanya di TPS memuat lebih 100 orang. Bahkan ada yang 200 orang lebih yang mempunyai tanggal lahir yang sama (apakah 1 Juli, atau 31 Desember atau 1 Januari). Contoh konkret adalah DPT di TPS 5, Desa Genteng, Kecamatan Konang. Bangkalan Jawa Timur. Di TPS ini, ada 228 DPT bertanggal lahir 1 Juli. Akal sehat tentu sangat meragukan, bagaimana mungkin di satu TPS, ada 228 orang yang punya data lahir yang sama tanggalnya, yaitu tanggal 1 Juli. Pengecekan ke Dukcapil terhadap TPS tersebut, ternyata mereka tidak terdata di KTP elektronik. Padahal menurut UU No 7 tahun 2017, Pasal 348, yang berhak ada di DPT adalah yang sudah punya KTP elektronik. Pertanyaannya, mengapa yang tidak punya KTP elektronik bisa terdata di DPT? Mengapa di TPS 5 tersebut, bisa ada 228 orang yang tanggal lahirnya sama? Apakah KTP mereka juga menunjukkan mereka tanggal lahirnya sama?
Selain masalah tanggal lahir yang sama (sekitar17.5juta), masalah lainnya adalah data di DPT 2019, menunjukkan pemilih berusia di bawah 17 tahun sekitar 20.475 orang. Padahal di bawah 17 tahun, peraturan tidak membolehkan untuk memilih. KPU melakukan klarifikasi dengan cara sampling sebanyak 3.384 orang saja. Hasil ini menunjukkan bahwa KPU tidak melukukan klarifikasi terhadap semua data yang dilaporkan. KPU hanya mampu mengklarifraksi sebagian kecil saja, yaitu 3.384 dari 20.475 orang yang bermasalah dan terbukti ada 150 orang yang tidak memenuhi syarat (TMS). Dengan demikian KPU terbukti melanggar prinsip “one person, one value, one vote”.

Masalah lainnya, di Banyuwangi dan kota/kabupaten lainnya, ada 117.333 KK yang 1 KK terdiri dari puluhan, ratusan dan bahkan ada yang 1000 anggota keluarga lebih. Demikian juga di Majalengka, 1 KK berisi 1826 anggota keluarga. Seperti di Majalengka ditemukan ada 22.439 KK yang manipulatif dan KPU hanya mampu mengoreksi 2 KK saja. Artinya sisanya masih manipulatif. Data yang tidak wajar ini rentan dengan adanya pemilih siluman. Hal ini bisa dibuktikan dengan pengecekan di lapangan terhadap 1 KK manipulatit yang terdiri dari 1.355 anggota keluarga di kota Bogor.
Ditemukan adanya data ganda. Data tersebut, misalnya, di 5 (lima) provinsi saja, ditemukan sebanyak 6.169.895 orang. Justru KPU menggunakan data salah yang pernah diberikan oleh BPN untuk menganalisa kegandaan DPT 17,5 juta data yang tidak wajar tersebut. Hal ini membuktikan KPU tidak pernah melakukan pengecekan terhadap data tersebut.

B. Kekacauan Situng KPU dalam Kaitannya dengan DPT
Bahwa berdasarkan Pasal 1 angka 38 Peraturan KPU Nomor 4 tahun 2019 tentang Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan Umum, Situng merupakan perangkat yang digunakan sebagai sarana infomasi dalam pelaksanaan penghitungan suara, rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara, dan penetapan hasil pemilu. Dengan demikian, KPU mempunyai kewajiban untuk menjaga dan menyajikan data Situng yang benar dan dapat dipercaya. Namun faktanya, data yang disajikan bermasalah sehingga menimbulkan kekacauan. Pemberian kode—kode khusus di DPT menyebabkan terbuka lebarnya peluang bagi pihak-pihak yang melakukan kecurangan Pemilu untuk melakukan manipulasi data yang menguntungkan Pasangan Calon Nomor Urut 01 . Adapun detail sebab akibat kekacauan data tersebut dapat kami uraikan sebagai berikut:
1) Banyaknya kesalahan input data pada SITUNG yang mengakibatkan terjadinya ketidak sesuaian data (infomasi) dengan data yang terdapat pada 01 yang dipindai KPU sendiri di 34 ( Tiga puluh empat ) provinsi Seluruh wilayah Indonesia.
Kami menemukan banyak sekali kesalahan input data yang dilakukan oleh pihak penyelenggara (KPU), di mana terkadang jumlah perolehan suara oleh masing—masing paslon seharusnya lebih besar/iebih kecil berdasarkan sumber data C1 yang bermasalah dalam kalkulasi pengisian angka.
Banyaknya kesatahan penjumlahan suara sah yang tidak sesuai dengan jumlah DPTIDPTlePK
Dalam penjumlahan suara sah banyak sekali kesalahan—kesalahan yang kami temukan dalam SITUNG KPU,dan pertanyaan kami adalah : Apakah KPU sebagai penanggung jawab PEMILU 2019 tidak memiliki system yang akurat dalalam penjumlahan suara sah dari kedua paslon, dan apakah Anggaran yang begitu besar tidak cukup untuk KPU memiliki system penghitungan yang mana bagi kami sangat sederhana. Banyaknya kesalahan data yang terdapat pada 01 yang dipindai (sumber data yag di miliki KPU awalnya sudah salah).
Dalam 01 yang dipindai KPU, kami menemukan juga kesalahan penulisan data,baik itu data DPT,Pengguna Hak Pilih dan juga jumlah suara kedua paslon. Pada penulisan di C1 kami melihat penulisan secara manual dan tidak menggunakan mesin, tetapi kami mempertanyakan didalam penulisan manual juga KPU masih melakukan kesalahan kesalahan yang beniiang ulang dan yang membuat kami lebih terkejut bahwa KPU telah Uploadl pindai form C1 yang di isi angka salah tersebut dan dapat dilihat oleh seluruh Masyarakat karena SITUNG KPU dapat diakses Umum dengan informasi yang salah.

Argumentasi (Jawaban) KPU sebagai termohon dan Tim Kampanye Nasional Jokowi Maruf sebagai terkait.
ARGUMETASI KPU
Pertama tama penulis akan menguraikan jawaban dari pihak termohon  terlebih dahulu
1. KPU menyatakan sikap tegasnya atas perbaikan permohonan yang dimasukkan pihak Prabowo-Sandiaga pada sidang pertama, yaitu pada 14 Juni kemarin, karena disebut menyalahi peraturan karena bertentangan dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi No 5 2019 tentang tahapan Hukum Acara Perselisihan Pemilu yang kemusdian diubah menjadi PMK No 2 Tahun 2019 dalam rangka menjamin kepastian hukum karena menurut termohon perbaikan perohonan tidak berlaku pada PHPU Pilpres tersebut sebagaimna diatur pada PMK tersebut. Kemudian termohon berpendapat bahwa perbaikan permohonan yang baru buka lah suatu perbaikan sebab terdapat banyak perubahn terutama dalam posita (dasar permohonan) sehingga dapat dikatakan perbaikan yang diajukan oleh pemohon merupakan bentuk permohonan baru.
2. Pemohon tidak menguraikan kesalahan pada hasil penghitungan suara yang diajukan oleh termohon dan penghitungan yang benar oleh pemohon begitu juga dalam petitum pemohon tidak meminta adanya dilakukan penghitungan yang benar sehingga tidak memenuhi persyaratan pengajuan permohonan sebagaimana diatur 475 ayat 1 dan 2 UU Pemilu Tahun 2017, Pasal 75 UU MK No 24 Tahun 2003, Pasal 8 ayat 1 huruf b angka 4 dan 5 PMK No 4 THN 2018 yang pada pokoknya mengatakan, pokok permohonan harus memuat penjelasan mengenai kesalahan penghitungan suara yang dilakukan termohon. Kemudian pihak pemohon tidak menjelaskan cara mengenai penghitungan yang benar menurut pemohon sehingga memungkinkan permohonan pemohon tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi. Maka dengan ini termohon berpendapat bahwa pemohon telah mengakui penghitungan suara yang dilakukan oleh termohonsudah benar dan sah, jika pemohon merasa pengitugan yang dilakukan termohon curang dan menyalahi aturan maka seharusnya peohon mencatutmkannya dalam posita.
3. Kecurangan TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Masif) yang dituduhkan oleh pemohon adalah sikap tidak netral aparatur pemerintahan termasuk KPU sebagai penyelenggara pemilu terkait kecurangan pemilu haruslah dibuktian dan bentuk kecurangan tersebut harus mempengaruhi hasil secara signifikan. Kemudian pemohon tidak mapu menguraikan secara korelasional terkait tuduhan kecurangan yang ditujukan kepada termohon dalam memenangkan Paslon 01 Jokowi-Ma’ruf tidak mampu diuraikan secara jelas.
4. Persoalan DPT telah diselesaikan bersama pihak Prabowo, Kuasa Hukum termohon Ali Nurdin mengatakan, Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dipersoalkan tim hukum pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, telah diselesaikan sebelum penyelenggaraan Pemilu 2019. Persoalan tersebut diselesaikan secara bersama-sama oleh KPU, pihak pasangan Prabowo-Sandiaga, Bawaslu, dan pihak terkait "Bahwa DPT yang dipersoalkan oleh pemohon merupakan persoalan yang sudah diselesaikan secara bersama-sama sejak awal antara termohon, pemohon, pihak terkait serta Bawaslu," ujar Ali saat membacakan jawaban pihak termohon dalam sidang sengketa hasil pilpres di gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Selasa (18/6/2019). Dalam catatan KPU, kata Ali, tercatat ada 7 kali koordinasi antara KPU dan pihak Prabowo-Sandiaga.
5. Kubu Prabowo dinilai gagal paham soal situng, KPU menilai paslon nomor urut 02 Prabowo-Sandi telah keliru dan gagal paham mengenai Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng). Ali menegaskan, pencatatan data pada Situng KPU bukan merupakan hasil ressmi dan bukan pula sumber data rekapitulasi berjenjang yang menjadi dasar penghitungan perolehan suara tingjat nasional. Kemudian Situng hanyalah alat bantu yang berbasis pada teknologi informasi untuk menunjukkan keterbukaan kinerja KPU dalam pelaksanaan tahapan pemungutan penghitungan rekapitulasi, serta penetapan hasil penghitungan suara Pemilu 2019. Seharusnya pemohon mempermasalahkan mengenai rekapitulasi suara berjenjang bukannya mempermasalahkan tentang situng.

Argumentasi TKN (Tim Kampanye Nasional)
1. Kubu Prabowo Membangun Narasi Kecurangan Tanpa Bukti
Ketua Tim Kuasa Hukum TKN, Yusril Ihza Mahendra 'menyentil' gugatan yang dilayangkan pihak Prabowo-Sandi sebagai upaya membangun opini ketimbang menghadirkan fakta hukum. "Tantangan terbesar yang dihadapi proses Pemilu 2019 ini adalah fenomena politik pasca kebenaran atau post truth politics yang menguat beberapa tahun terakhir ini. Ciri-ciri post truth adalah penggunaan strategi untuk membangun narasi politik tertentu untuk meraih emosi publik dengan memanfaatkan informasi yang tidak sesuai dengan fakta, yang membuat preferensi politik publik lebih didominasi faktor emosional dibandingkan rasional".
Dengan begitu, sebagai Pihak Terkait, Yusril memandang sangatlah penting untuk memilah dan mengkritisi bangunan narasi yang dijadikan dalil-dalil Permohonan Pemohon. Narasi kecurangan yang diulang-ulang terus menerus tanpa menunjukkan bukti-bukti yang sah menurut hukum, klaim kemenangan tanpa menunjukkan dasar dan angka yang valid, upaya mendelegitimasi kepercayaan publik pada lembaga Penyelenggara Pemilu dan lembaga peradilan hendaknya tidak dijadikan dasar untuk membangun kehidupan politik yang pesimistik dan penuh curiga.
"Semua elite politik memiliki tanggungjawab agar praktik politik Indonesia tetap mendasarkan diri pada nilai-nilai moral. Penyebaran berita bohong, hoax, fitnah, penggunaan sentimen suku, agama dan ras yang sempat mewarnai proses Pemilu 2019 ini, agar segera diubah menjadi gaya berpolitik yang santun dan sehat. Tidak boleh terus-menerus berlanjut dan harus dijadikan pelajaran berharga untuk membangun kehidupan politik yang sehat dan berkeadaban di masa-masa yang akan datang".
2. Permohonan Prabowo-Sandi Dinilai Obscuur (Tidak Jelas)
Ketidakjelasan yang dimaksudkan Yusril di sini adalah, karena kubu BPN dinilainya hanya membangun konstruksi soal dugaan terjadinya kecurangan. Pemohon, sambungnya, membangun konstruksi hukum seolah-olah telah terjadi dugaan adanya pelanggaran dan kecurangan agar Mahkamah dapat memeriksa, mengadili dan memutus Permohonan Pemohon, yang hal ini justru menjadikan Permohonan Pemohon menjadi obscuur (tidak jelas).
Gugatan tersebut juga menurutnya tidak memiliki bukti dan kental asumsi, sehingga selayaknya majelis hakim mahkamah mengabaikan gugatan BPN seluruhnya. Mengapa begitu? Karena menurutnya, jika dibaca lebih seksama dan teliti, pada pokoknya merupakan keinginan Pemohon sendiri untuk menambahkan kewenangan Mahkamah. Frasa 'Sehingga Perlu Mengadili' secara eksplisit dan verbatim menunjukkan kehendak subyektif Pemohon agar Mahkamah mempertimbangkan untuk menerima Permohonan mereka untuk diproses 'beyond the law' atau di luar ketentuan hukum yang berlaku.
Demikian pula dalil-dalil yang tidak menyertai asumsi, semakin lengkap dengan tidak adanya bukti-bukti yang kuat. Sehingga, ia berpendapat, kecurangan yang dituduhkan kepada TKN mengenai pelaksanaan Pilpres 2019 tidak berdasar, menjadi kabur atau tidak jelas dari sisi hukum.
3. Tudingan Kecurangan TSM Tanpa Bukti, Padahal Pengadilan Bicara Bukti Bukan Asumsi
Menurut Yusril, pengadilan, dalam hal ini Mahkamah kostitusi, membutuhkan bukti yang kuat bukannya sekedar narasi atau asumsi. Dirinya mencontohkan salah satu juru bicara Tim Hukum BPN, Denny Indrayana, yang sebelumnya banyak sekali menggunakan frasa indikasi, patut diduga, yang jika dihitung pengucapannya 41 kali itu-itu saja.
Selain itu, dirinya meyakini bahwa Tim Hukum BPN tidak bisa membuktikan gugatan mereka sendiri nantinya, terutama terkait kecurangan Terstruktur, Sistematis dan Masif (TSM). Ditambah lagi, kata Yusril, persoalan TSM bukanlah ranah Mahkamah Konstitusi.
4. Kecurangan Lewat Program Kenaikan Gaji PNS Tak Bisa Dibuktikan
Terkait adanya program kenaikan gaji PNS, TNI dan Polri yang dilakukan Paslon Capres Petahana Joko Widodo, ia justru mempertanyakan apa pengaruh hal itu atas perolehan suara Paslon Capres-Cawapres 01 Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin. Dirinya menyatakan kepada wartawan, bahwa dari sekitar 4,1 juta PNS di tanah air ini, tidak bisa dipanggil satu persatu untuk ditanyakan memilih siapa saat Pilpres. Lagipula, apakah mereka juga semuanya memilih Joko Widodo? Apakah bisa dipastikan seperti itu? demikian kata Yusril.
"Kalau memang itu dianggap satu pelanggaran, apakah ada pengaruhnya terhadap suara. Misalnya orang yang dinaikan gajinya itu mendukung Jokowi? Tidak juga. Jumlah pegawai negeri ada 4,1 juta diseluruh Indonesia, apa betul semua memilih Joko Widodo? Tidak bisa dibuktikan. Untuk membuktikannya harus dipanggil satu persatu," kata Yusril.
5. Tolak Permohonan Gugatan Tim Kuasa Hukum BPN (Prabowo-Sandi)
Yusril masuk pada Petitum yang berbunyi, Berdasarkan seluruh uraian sebagaimana tersebut di atas, Pihak Terkait memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan putusan sebagai berikut:
Dalam Eksepsi, Pertama, menerima Eksepsi Pihak Terkait untuk seluruhnya. Kedua, menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memeriksa Permohonan Pemohon, atau setidak-tidaknya menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Sedangkan dalam pokok permohonan, menolak Permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Alasannya, permoohonan yang dibacakan dan yang diregistrasikan berbeda, kemudian mengenai perbaikan gugatan perbaikan permohonan dalam PHPU Pilpres tidak diberikan ruang sehingga permohonan yang diajukan pemohon harusnya tidak dapat diterima. Kemudian segala bentuk gugatan BPN Paslon 02 Prabowo-Sandi, hanya berbentuk asumsi tanpa adanya dasar hukum dan bukti yang kuat, sehingga gugatan tersebut menjadi kabur dan tidak layak dipertimbangkan majelis hakim mahkamah.

2. Analisis
Dalam kasus ini saya akan mencoba memposisikan diri saya sebagai Hakim Konstitusi. Dengan menggunakan pendekatan legal formal, dimana dalam hal ini saya hal yang diprioritaskan adalah kepastian hukum agar terciptanya suatu tertib hukum. Pertama tama saya hanya akan membahas megenai aspek kuantitatif karena aspek kuantitatif inilah yang menjadi inti daripada digelanrnya perkara sengketa PHPU karena sebagaimana tertuang dalam 475 ayat 1 dan 2 UU Pemilu Tahun 2017, Pasal 75 UU MK No 24 Tahun 2003, dan Pasal 8 ayat 1 huruf b angka 4 dan 5 PMK No 4 THN 2018 yang pada pokoknya mengatakan pokok permohonan harus memuat penjelasan mengenai kesalahan penghitungan suara yang dilakukan termohon (KPU). Jika melihat posita/dasar gugatan yang diajukan pemohon dapat dilihat bahwasanya pemohon tidak mempermaslahkan mengenai kesalahan penghitungan berjenjang yang diajukan oleh termohon (KPU), pemohon hanya mempermaslahkan mengenai Situng yang pada dasarnya Situng bukan merupakan hasil penghitungan resmi karena Situng hanya merupakan bentuk keterbukaan dan tanggung jawab KPU dalam menyajikan informasi kepada masyarakat. Maka apabila mengacu pada PMK diatas permohonan BPN tidak memnuhi syarat tentang pemohon harus mampu menunjukkan mengenai kesalahan penghitungan yang dilakukan oleh pihak termohon dan harus menunjukkantentang bagaimana tata caara penghitungan yang benar menurut pemohon. Kemudian jika berbicara mengenai 17 Juta DPT ghaib yang dipermaslahkan oleh pemohon, BPN dalam hal ini hanya mampu membuktikan sebagian jumlah DPT palsu namun tidak dapat dibuktikan secara keseluruhan maupun setengahnya, sehingga saya merasa tidak akan mempengaruhi hasil secara signifikan.
Kemudian mengenai perbaikan guatan yang dilakukan oleh pemohon, hal tersebut tidak diatur oleh PMK sehingga saya berpendapat bahwa demi tegaknya hukum permohonan yang baru tersebut, yaitu permohonan yang diajukan pada 11 Juni  dinyatakan  (niet ontvankelijke verklaard/NO) alias tidak dapat diterima karena cacat formil serta (obscuur libel) atau maknanya kabur bahkan bisa saja ditolak karena sejauh ini permohonan yang dimohonkan  pihak pemohon dan poin-poin permohanan lainnyadari sekian banyak pun belum bisa membuktikan secara konkrit atas dalil-dalil yang di utarakan karena bahwasannya ada asas yang berbunyi “ Actori Incumbit Probatio” dimana mempunyai makna barangsiapa yang mendalilkan maka juga harus membuktikan


Komentar

Postingan Populer