ANALISIS PERKARA MK NO. 01/PHPU.PRES/17/2019 MENGENAI PENYELESAIAN SENGKETA PEMILIHAN PRESIDEN 2019
Berbicara
mengenai Sengketa PHPU Pilpres yang akhir-akhir ini mengundang perhatian
masyarakat, dimana kubu Badan Pemenangan Nasional (BPN) yang berlaku sebagai
pemohon, merasa ada kecurangan dalm pelaksanaan Pemilu 2019 khususmya Pilpres
sehingga pelaksanaan pemilu pada tahun 2019 ini dirasa tidak memenuhi asas
jurdil (jujur dan adil). Mereka mengajukan permohonan kepada Mahkamah
Konstitusi unutk membatalkan hasil penetapan pemilihan presiden 2019 yang
diumumkan oleh KPU yang memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin. Berikut ini
akan dijelaskan beberapa dasar permohonan yang diajukan oleh BPN yang penulis
ambil dari permohonan pemohon yang diregistrasi pada tanggal 24 Mei dikarenakan
pada saat penulis menulis artikel ini permohonan yang diregistrasi tanggal 11
Juni belum dipublikasikan sehingga penulis tidak dapat menemukan permohonan
tertanggal 11 juni tersebut, dengan demikian maka jawaban pihak termohon dan
terkait yang akan penulis sampaikan adalah jawaban mengenai surat permohonan
yang diregistrasi tanggal 24 Mei..
1.
Dasar permohonan BPN dalam mengajukan permohonan, dan argumentasi pihak
termohon (KPU) dan terkait (TKN Jokowi-Ma’ruf)!
Telah
terjadi kecurangan secara Sistematis, Terstruktur, dan Masif
“Yang
dimaksud dengan "pelanggaran terstruktur” adalah kecurangan yang dilakukan
oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara pemilihan
secara kolektif atau secara bersama-sama.
Yang
dimaksud dengan “pelanggaran sistematis" adalah pelanggaran yang direncanakan
secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi.
Yang
dimaksud dengan “petanggaran masif“ adalah dampak pelanggaran yang sangat luas
pengaruhnya terhadap hasil pemilihan bukan hanya sebagian.
Berangkat
dari dasar pijak di atas, bahwa presiden petahana berpotensi terjebak dengan
praktik kecurangan pemilu, maka berikut ini kami jabarkan dan buktikan
bagaimana kecurangan yang Sistematis, Terstruktur, dan Masif dilakukan oleh
Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo dan KH. Ma'ruf Amin,
sehingga Pasangan Capres dan Cawapres 01 tersebut harus dibatalkan
(diskualifikasi) sebagai peserta Pilpres 2019, dan Pasangan Calon Presiden dan
Wakil Presiden 02, Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, harus dinyatakan sebagai
pemenang Pilpres 2019; atau paling tidak Pilpres 2019 diulang secara nasional.
Bentuk
pelanggaran pemilu dan kecurangan masif yang dilakukan adalah:
a.
Penyalahgunaan Anggaran Belanja Negara dan/Program Kerja Pemerintah
b.
Ketidaknetralan Aparatur Negara: Polisi dan Intelijen
c.
Penyalahgunaan Birokrasi dan BUMN
d.
Pembatasan Kebebasan Media dan Pers
e.
Diskriminasi Perlakuan dan Penyalahgunaan Penegakkan Hukum
Kelima
jenis pelanggaran dan kecurangan itu semuanya bersifat sistematis,
terstrukturdan masif, dalam arti dilakukan oleh aparat struktural, terencana,
dan mencakup dan berdampak luas kepada banyak wilayah Indonesia. Berikut adalah
penjelasan lebih detail dari pelanggaran dan kecurangan tersebut
A.
Ketidaknetralan Aparatur Negara: Polisi dan Intelijen
Badan
Pemenangan Prabowo Sandi selaku penggugat merasa bahwa sebelum, selama, dan sesudah masa
pemilu aparat penegak hukum melakukan berbagai paya untuk memenangkan pasangan
Jokowi Ma’ruf hal ini dilihat dari sikap kepolisian yang dalam menjalankan
tugasnya tidak berlaku adil, kemudian BPN Prabowo Sandi menemukan berbagai
fakta yang mengindikasikan sikap tidak netral pihak kepolisian dalam rangka
memenangkan pasangan Jokowi-Ma’ruf sebagai berikut:
1)
Ketidaknetralan kepolisian.
Meskipun
mengesankan netral, sebenarnya keberpihakan Polri kepada Pasangan Capres dan
Cawapres 01 terlihat jelas dalam banyak kejadian dan merata di seluruh wilayah
Indonesia. Pada saatnya, pada sidang pembuktian. kami akan menghadirkan alat
bukti yang menguatkan dalil tersebut. Untuk kepentingan permohonan ini. kami
tidak akan mengungkapkannya secara rinci, satu dan lain hal, untuk menjaga keamanan
dan keselamatan alat—alat bukti tersebut. Meskipun demikian, pada kesempatan
awal ini, kami hanya akan menguraikan beberapa bukti yang sudah pernah muncul
dalam pemberitaan, dan karenanya sudah diketahui oleh khalayak luas.
Bahwa
salah satu bukti ketidaknetralan polisi adalah adanya pengakuan dari Kapolsek
Pasirwangi, Kabupaten Garut, Jawa Barat, AKP Sulman Azis yang mengaku
diperintahkan untuk menggalang dukungan kepada Pasangan Calon nomor 01 Joko
Widodo—Ma'ruf Amin oleh Kapolres Kabupaten Garut. Perintah serupa juga diberikan
kepada kapolsek lainnya di wilayah Kabupaten Garut, AKP Sulman mengatakan
Kapolres Kabupaten Garut Juga pernah menggelar rapat dengan para kapoisek di
wilayahnya pada sekitar bulan Februari 2019. Dalam rapat tersebut, perintah
menggalang dukungan diberikan. Pen'ntah pendataan dukungan masyarakat kepada 01
dan 02 pun diberikan. Para kapolsek, diancam akan dimutasikan jika paslon 01
kalah di wilayahnya (Bukti P—11).
Kemudian
BPN menemukan bukti lain bukti yang mengindikasikan ketidaknetralan Polri
lainnya yaitu, dugaan kuat institusi Polri membentuk tim buzzer di media sosial
mendukung pasangan calon Joko Widodo - Ma'ruf Amin. Hal ini terlihat dari
bocoran informasi yang diungkap oleh akun twitter QOpposite6890 yang mengunggah
beberapa video dengan narasi 'polisi membentuk tim buzzer 100 orang per polres
di seluruh Indonesia yang terorganisir dari polres hingga mabes'. Disebutkan
bahwa akun induk buzzer polisi bemama 'Alumni Sambhar' yang beralamat di Mabes
Polri. Akun lnstagram QAlumniShambar juga hanya memfollow satu akun, yaitu akun
lnstagram milik Presiden Joko Widodo, sehingga indikasi ketidaknetralan polisi menjadi
makin terang. Selain itu, aplikasi APK SAMBHAR menggunakan alamat IP milik
Polri dimana aplikasi tersebut wajib diinstal oleh para buzzer polri di perangkat
android masing-masing.
2)
Ketidaknetralan aparat Intelijen.
Ketidaknetralan
badan intelijen negara juga pernah dikemukakan oleh Mantan Presiden Ke 6 Susilo
Babang Yudhoyono yang sekaligus merupakan Ketua Umum Partai Demokrat yang
tergabung kedalam Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandi. Berikut ini
pernyataan SBY akan disampaikan:
"Tetapi
yang saya sampaikan ini cerita tentang ketidaknetralan elemen atau oknum, dari
BIN, Polri, dan TNI itu ada, nyata adanya, ada kejadiannya, bukan hoaks. Sekali
lagi ini oknum,“ kata SBY dalam jumpa pers di Bogor, Jawa Barat, Sabtu (23/6/2018).
"Selama 10 tahun saya tentu kenal negara, pemerintah. BIN, Polri, dan TNI.
Selama 10 tahun itu lah doktrin saya, yang saya sampaikan, negara, pemerintah,
BIN, Polri. dan TNI netral," ujarnya.
SBY
menyatakan dirinya berani menyampaikan hal ini lantaran memiliki bukti dan mengetahui
kejadian tersebut dari laporan orang-orang yang ada disekitarnya. Untuk itu,
SBY memberanikan diri mengungkapkan ini mewakili rakyat yang merasa khawatir
untuk bicara lantang. "Mengapa saya sampaikan saudara—saudara ku. Agar BIN,
Polri, dan TNI netral. Karena ada dasarnya, ada kejadiannya," ujarnya
menambahkan (Bukti P- 13).
Ketidaknetralan
Polri dan BIN atau intelijen yang secara langsung dan tidak langsung bertindak
menjadi “Tim Pemenangan” Pasangan Calon 01, nyata-nyata telah menciptakan
ketidakseimbangan ruang kontestasi. Karena akhirnya Pasangan Calon 02 bukan
hanya berkompetisi dengan Pasangan Calon 01, tetapi juga dengan Presiden petahana,
yang diback up oleh aparat Polri dan Intelijen. Hal demikian, tentu saja melanggar
prinsip pemilu yang jujur dan adil, dan merupakan pelanggaran dankecurangan
yang harus dinyatakan Sistematis, Terstruktur dan Masif.
B.
Diskriminasi Perlakuan dan Penyalahgunaan Penegakkan Hukum
Bahwa
indikasi kuat pelanggaran dan kecurangan dalam Pilpres 2019 lainnya adalah
adanya diskriminasi perlakuan dan penyalahgunaan penegakkan hukum yang bersifat
tebang pilih ke salah Pasangan Calon 02 saja, dan tumpul ke Pasangan Calon 01.
Perbedaan perlakuan penegakan hukum yang demikian, di samping merusak prinsip
dasar hukum yang berkeadilan, tetapi juga melanggar HAM, tindakan
sewenang-wenang, dan makin menunjukkan aparat penegak hukum yang berpihak dan
bekerja untuk membantu pemenangan Pasangan Calon 01, melalui penieratan masalah
hukum yang mengganggu kerja dan konsolidasi pemenangan Pasangan Calon 02.
Adapun
beberapa bukti-bukti terkait Perlakuan dan Penyalahgunaan Penegakkan Hukum tersebut
dapat kami sampaikan sebagai berikut:
a.
Pose dua Jari di Acara Gerindra, Anies Terancam 3 Tahun Penjara (CNNindonesla,
07 Januari 2019 ). Ketua Bawaslu Kabupaten Bogor, Irvan Firmansyah, menduga
Pose dua Jari anies di acara konferensi Gerindra sebagai tindakan pejabat yang
menguntungkan salah satu calon dan melanggar Pasal 547 UU Pemilu (Bukti P—31,
Copy Terlampir)
Peristiwa
ini terjadi pada masa setelah penetapan calon serta merupakan bentuk perbedaan
perlakuan oleh Penyelenggara Pemilu dalam menangani dugaan pelanggaran
b.
Pose Jari Luhut dan Sri Mulyani Bukan Pelanggaran Pemilu (Tempoco, 06 November 2018).
Ketua Bawaslu, Abhan Misbah, menyatakan Pose Jari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman,
Luhut Binsar Pandjaitan, dan Menteri Keuangan Sri Mulyani, bukan merupakan
pelanggaran Pemilu setelah melakukan pembahasan dengan Badan Reserse Kriminal
Mabes Polri,'Kejaksaan RI dan Klarinkasi ke KPU (Bukti P-14).
Peristiwa
ini terjadi pada masa setelah penetapan calon serta merupakan bentuk perbedaan
perlakuan oleh Penyelenggara Pemilu dalam menangani dugaan pelanggaran
c.
Kades di Mojokerto dituntut 1 Tahun Percobaan karena Dukung Sandiaga (Detiknews.com,
11 Desember 2018). Kepala Desa Sampangagung,KutorejoMojokerto, Suhartono,
Dituntut 6 Bulan Penjara dengan 1 Tahun masa Percobaan karena mendukung Sandiaga
(Bukti P-15).
Peristiwa
ini terjadi pada masa setelah penetapan calon serta merupakan bentuk perbedaan
perlakuan oleh Penyelenggara Pemilu dalam menangani dugaan pelanggaran
d.
Bawaslu Setop Kasus 15 Camat Makassar Deklarasi Dukung Jokowi (CNNlndonesta, 12
Maret 2019). Ketua Bawaslu Sulsel, Laode Ammahi, memutuskan menghentikan kasus dugaan
pelanggaran Pemilu oleh 15 Camat di Makassar yang terekam Video Deklarasi Dukung
Jokowi karena tidak terbukti dan tidak memenuhi syarat ikut kampanye (Bukti P-16).
Peristiwa
ini terjadi pada masa setelah penetapan calon serta merupakan bentuk perbedaan
perlakuan oleh Penyelanggara Pemilu dalam menangani dugaan pelanggaran
e.
15 Gubernur Tegaskan Dukungan Kepada Jokowi—Ma'ruf di Pilpres 2019
(Liputan6,com, 12 September 2018) Mereka diantaranya Gubemur Sumatera Selatan
Herman Deru, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Tengah Ganjar
Pranowo, Gubernur Jawa Timur Khohfah Indar Parawansa, Gubernur Bali Wayan
Koster, Gubernur NTB Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi, Gubernur Nl'l Viktor
Laiskodat, Gubernur Papua Lukas Enembe, Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Mazi,
Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah, Gubernur Sulawesi Utara Olly
Dondokambey, Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji, Gubernur Kalimantan Timur
Awang Faroek Ishak, Gubernur Kalimantan Tengah Sugianto Sabran, Wakil Gubernur
Terpilih Maluku Utara Rivai Umar, menyatakan Dukungan Kepada Jokowi-Ma'ruf
dalam Pilpres 2019 (Bukti P-19).
Peristiwa
ini terjadi pada masa verifikasi administratif, belum penetapan calon serta merupakan
bentuk penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan Calon 01
C.
Penyalahgunaan Birokrasi dan BUMN
Jokowi
sebagai petahana dalam hal ini telah diduga melakukan menyalahgunakan kekuasaan
(abuse of power) sebagai Presiden dan diduga telah memanfaatkan dan menggerakkan
birokrasi dan sumberdaya badan usaha milik Negara (BUMN) untuk mengkampanyekan
dirinya agar terpilih kembali dan juga untuk mendukung pemenangan pasangan calon
01. Adapun beberapa contoh rangkaian pelanggaran dan kecurangan tersebut dapat kami
sampaikan sebagai berikut:
a.
Jokowi mendapat Dukungan Saat Hadiri Silaturahmi Nasional Kepaia Desa
(Suaracom. 10 April 2019). Presiden Jokowi mendapatkan dukungan berupa teriakan
“Ayo Lanjutkan Pak Jokowi” dan "Pemalang, Jokowi Menang, Jawa Tengah
Siap" saat menghadiri Silaturahmi Nasional Kepala Desa 2019 di Stadion
Tenis lndoorJakarta yang turut dihadiri Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo,
Menteri Koordinator Bidang Politik,Hukum dan Keamanan Wiranto, Menteri Desa
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo, Gubernur
Jawa Barat Ridwan Kamil (Bukti P-24).
b.
Pameran Mobil jadi Kampanye tagar Jokowi2Periode (Detikoto, 02 Agustus 2018).
Menteri
Perindustrian, Airlangga Hartanto, dalam Pameran Gaikindo international Auto Show
( GIIAS) 2018 menyatakan .. " saya cek kepada industriawan, masyarakat
industri siap Bapak Presiden dua Periode". (Bukti P-25)
Peristiwa
ini terjadi pada saat Tahapan sebelum Pencalonan, namun sudah melakukan
kegiatan Kampanye untuk memenangkan Caton 01
c.
ASN Jangan Netral: Sampaikan Program Pak Jokowi (lDNNewsid, 03 Maret 2019). Menteri
Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo, menyatakan Aparatur Sipil sebagai birokrasi tidak boleh
Netral, Tapi harus tegak lurus dengan atasannya, Termasuk kepada Presiden Juga,
Pak Jokowi (Bukti P-27).
Peristiwa
ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada
Tahapan Kampanye
d.
Jokowi Minta Perwira TNI-Potri Sosialisasikan Program Pemerintah (Tempoco, 24 Agustus
2018). Presiden Joko Widodo, saat di Istana Negara meminta Perwira Kepolisian Republik
Indonesia dan Tentara Nasional Indonesia untuk membantu mensosialisasikan program
pemerintah kepada Masyarakat (Bukti P-ZB).
e.
Satpol PP diminta Kampanyekan Jokowi (Jawa Poscom, 30 Januari 2019). Menteri
Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo , dalam Rakornas Satpol PP dan Satlinmas , di hotel
Mercure Ancol, Jakarta Utara, Meminta Satpol PP sebagai bagian dan' Pemerintah mengkampanyekan
Presiden Joko Widodo (Bukti P-30).
Peristiwa
ini terjadi pada saat Ta'hapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada
Tahapan Kampanye
Kementerian
BUMN Gelar Acara Ulang Tahun sepanjang Maret—April 2019 (Bumntrack.com, 01
Maret 2019). Sekertaris Kementrian BUMN, Imam Apriyanto Putro, menyatakan
seluruh BUMN akan menggelar sejumlah kegiatan social dan edukatif yang menarik
sepanjang Maret—Apn'l 2019 dan diduga kuat hal ini untuk menarik dukungan
masyarakat agar memilih kembali Jokowi sebagai presiden untuk masa periode selanjutnya.
(Bukti P-32).
Peristiwa
ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada
Tahapan Kampanye
D.
Penyalahgunaan Anggaran Belanja Negara dan Program Pemerintah
Bahwa
Pasangan Calon 01 menyalahgunakan APBN dan Program Pemerintah, yang sifatnya material,
untuk meningkatkan etektabilitasnya dalam Pilpres 2019. Tindakan demikian
nyata- nyata adalah bentuk vote buying dengan menggunakan anggara
negara. Hal demikian tentu saja sangat tidak layak, dan karenanya melanggar prinsip
etika bernegara. Karena dilakukan oleh aparat, terencana, dan mencakup wilayah
seluruh Indonesia, adalah bentuk pelanggaran dan kecurangan yang sistematis,
tertsruktur, dan masif.
Beberapa
contoh pelanggaran dan kecurangan tersebut adalah:
a.
Kenaikan Dana Kelurahan ( TRIBUNNEWS, 02 November 2018). Janji Dana Kelurahan 3
Triliun akan mulai dicairkan pada Januari 2019, guna kepentingan pembangunan sarana
dan prasarana oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani (Bukti P-33)
Peristiwa
ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada
Tahapan Kampanye
b.
Dana Bansos Telah Cair 15.1 Tn'liun Pada Januari 2019 ( Tirto.id,20 Febmari 2019).
Sri Mulyani telah Mencairkan Dana Bansos pada Januari 2019 sebesar15.1
Triliun,meningkat 3 (tiga) Kali lipat daripada Januari 2018 yang hanya 5.3
Triliun (Bukti P-34).
Peristiwa
ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada
Tahapan Kampanye
c.
Jokowi Mengakui Pembangunan Infrastruktur untuk Kepentingan Pemilu 2019 (Kompas.com,
27 November 2018). Jokowi saat pertemuan tahunan Bank Dunia 2018 di JCC
mengakui bahwa pembangunan infrastruktursalah satunya untuk kepentingan Pemilu 2019
(Bukti 13-35).
Peristiwa
ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada
Tahapan Kampanye
d.
Jokowi Percepat Penerimaan PKH (Program Keluarga Harapan) dari Februari menjadi
Januari 2019 (Beritasatu.com, 03 Desember 2018). Jokowi mempercepat penyaluran Penerimaan
Program Keluarga Harapan, yang awalnya Febmari 2019 menjadi Januari 2019 (Bukti
P-36).
Peristiwa
ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada
Tahapan Kampanye
e.
Bansos PKH 2019 Nilai Diperbesar,Waktu Penyaluran dimajukan (Tirloid, 04
Desember 2018). Mentri Sosial, Agus Gumiwang menyatakan Indeks Bantuan Sosial
untuk Program Keluarga Harapan diperbesar sehingga nilai diperbesar juga dan
waktu penyaluran dipercepat guna memberantas kemiskinan (Bukti P-37).
Peristiwa
ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada
Tahapan Kampanye
f.
Jokowi Teken Peraturan Pemerintah Gaji Perangkat Desa Setara PNS ll A (Kompas.com,
12 Maret 2019). Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 11
Tahun 2019 yang mana gaji perangkat desa setara PNS Golongan II A (Bukti P-38).
Peristiwa
ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada
Tahapan Kampanye
g.
Jokowi Janji Gaji Perangkat Desa Setara PNS Golongan lIA (Kompas.com, 14
Januari 2019). Jokowi menjanjikan Gaji Perangkat Desa akan setara PNS Golongan
II A dalam 2 Minggu (Bukti P-39).
Peristiwa
ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada
Tahapan Kampanye
h.
THR PNS 2019 kan cair lebih cepat (Tribunkaltim.co, 01 Maret 2019). Sri Mulyani
menyatakan sudah berkoordinasi dengan Kementrian Pemberdayaan Aparatur Negara untuk
THR PNS pada tahun 2019 (Bukti P-41).
Peristiwa
ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada
Tahapan Kampanye
i.
Rapelan Kenaikan Gaji PNS (Liputan6.com, 01 April 2019). Jokowi menyatakan akan
mencairkan Kenaikan Gaji PNS, yang dihitung sejak Januari 2019 (Rapelan) dan
para\ PNS akan menerima Gaji ke -13 dan ke—14 yang akan diberikan menjelang
Lebaran (Bukti P-42).
Peristiwa
ini terjadi pada masa Kampanye namun, materi yang disampaikan merupakan program
pemerintah untuk kepentingan Calon 01
j.
Gaji PNS akan dinaikkan Mulai April,.lanuari-Maret dirapel (Cnn Indonesia, 07
Desember 2018). Kementerian Keuangan menyebutkan akan menaikkan gaji PNS
sebesar 5% pada April 2019, dimana kenaikan Gaji Bulan Januari-Maret 2019 akan
diberikan secara Rapelan (Bukti P-43).
Peristiwa
ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada
Tahapan Kampanye
k.
Jokowi menyatakan Gaji PNS Naik Awal April sekaligus Gaji ke-13 dan ke—14 (Kompas.com,
08 Maret 2019).
Presiden
Jokowi Menyatakan kenaikan Gaji Pegawai Negeri Sipil akan direalisasikan paling
lambat awal April 2019, dimana saat ini Peraturan Pemerintahnya sedang
disiapkan (Bukti P-44).
Peristiwa
ini terjadi pada saat Tahapan Pemilu setelah Penetapan Calon, Belum Masuk pada
Tahapan Kampanye
Bahwa
dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan tersebut, dengan support dari APBN, sekilas
itu adalah program pemerintah biasa. Namun jika ditelaah lebih jauh, maka akan terlihat
bahwa program—program itu dari segi momentum dan kebiasaannya atau
rutinitasnya, adalah merupakan bentuk strategi pemenangan Pasangan Calon 01.
Program dan anggaran mana yang penggunaannya merupakan pelanggaran atau
kecurangan pemilu yang sistematis, terstnrktur, dan masif. Meskipun akan
diargumenkan anggaran demikian memang digunakan untuk program pemerintah, sebenarnya
akan tidak sulit untuk membuktikan bahwa itu adalah bentuk vote buying yang
dilakukan Pasangan Calon 01, melalui posisinya yang juga adalah presiden
petahana. Lebih jauh money politic yang demikian, nyata-nyata dilarang dalam
Pasal 286 ayat (1) UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, terlebih karena Pasangan
Calon Presiden/Wakil Presiden 01 telah menjanjikan dan atau memberikan uang atau
materi lainnya dengan menggunakan anggaran negara untuk mempengaruhi pemilih.
E.
Pembatasan Kebebasan Media dan Pers
Dalam
kehidupan berdemokrasi, kebebasan pers adalah salah satu prinsip dari
demokrasi. Yang terjadi saat ini media menjadi subordinat dari kekuasaan.
Bahkan saat ini pemilik media tengah mengalami kondisi yang dilematis di antara
peran sebagai pilar keempat demokrasi dan bisnis. Yang jelas, dalam pilpres
2019, pemilik media coba diarahkan untuk memperkuat pasangan Jokowi -
Marqumin.19 Jelas ini sangat merugikan publik karena akan mendapatkan informasi
yang distorsif.
TELAH
terjadi upaya secara terstruktur. sistematis dan massif terhadap pers nasional,
dengan tujuan, menguasai opini publik. Media kritis dibungkam, sementara media
yang pemiliknya berafiliasi kepada kekuasaan, dijadikan media propaganda untuk
kepentingan kekuasaan. Tindakan-tindakan Pemerintah yang membatasi kebebasan
pers serta akses media kepada Paslon 02 dapat dilihat dari berbagai bukti
berikut ini:
1.
Berita Reuni 212 tidak diliput media mainstream
Dalam
sebuah peristiwa akbar yang dihadiri oleh jutaan orang seharusnya layak menjadi
berita dan layak dikonsumsi publik. Namun ternyata tidak diliput sehingga
menimbulkan pertanyaan dari PEMOHON. Bahkan panitia acara juga melayangkan
protes ke Komisi Penyiaran lndonesia karena ketidakadilan ini. Tekanan dari
penguasa yang tak lain adalah calon presiden membuat media tidak berkutik sama
sekali (Bukti P- 52).
2.
Pembatasan Tayangan TV One
Ada
beberapa acara yang dibatasi sehingga tidak tayang. Sebagai contoh adalah acara
lndonesia Lawyer Club (lLC) yang harus tidak tayang sampai waktu yang tidak
dtentukan. Kami ilyas sebagai host acara lLC memberikan pernyataannya di akun
sosial media—nya di twitter (Bukti P—53).
3.
Pemblokiran situs jurdil (CNN lndonesia, 22 April 2019)
Situs
jurdi12019.org telah diblokir Kementerian Komunikasi dan Informatika atas permintaan
Bawaslu. Situs itu diduga telah menyalahgunakan izin yang diberikan dengan mempublikasikan
hasil hitung cepat Pilpres 2019 (Bukti P-54).
Dalam
pilpres 2019, pers tidak bebas untuk memberitakan Paslon 01 dan Paslon 02
secara bebas. Yang lebih parah memang adanya media yang sudah nyata-nyata
menjadi pendukung partisan Paslon 01, sedangkan yang lain dikekang untuk tidak
bebas memberitakan berita baik dari 02. Hal demikian akan lebih tegas dan jelas
kami buktikan dalamsidang pembuktian dengan menghadirkan alat-alat bukti yang
diperlukan. Yang pasti ketidakberimbangan pemberitaan tersebut adalah bentuk penekanan,
dan karenanya kecurangan dalarn pilpres 2019, karena tidak menghadirkan ruang kontestasi
yang berimbang di antara kedua pasangan calon yang bersaing dalam pilpres.
Kelima
penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) tersebut dapat dilakukan karena Joko
Widodo juga adalah Presiden yang masih menjabat (incumbent), dan menghadirkan
Paslon 01 yang menyalahgunakan fasilitas, anggaran, lembaga, dan aparatur
negara untuk kemenangannya. Tindakan yang demikian, sekali lagi adalah
pelanggaran dan kecurangan yang sistematis, terstruktur dan masif, dan
karenanya perlu dihukum dengan sanksi yang berat.
Selain
kecurangan dalam bentuk kualitatif BPN juga
mengajukan bentuk kecurangan kuantitatif, yang merupakan poko bagi pihak
termohon dalam mengajukan permohonan ke MK.
A.
Daftar Pemilih Tetap Tidak Masuk Akal
1)
Terbukti ada Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang tidak masuk akal karena
ketidakwajarannya
berjumlah
17,5 juta yang terdiri dari 3 kelompok, yaitu:
Pertama,
data kelahiran yang bertanggal 01 Juli sebanyak 9.817.003 orang;
Kedua,
data kelahiran yang bertanggal 31 Desember sebanyak 5.377.401 orang;
Ketiga,
data kelahiran yang bertanggal 01 Januari sebanyak 2.359.304 orang;
Data
di atas hanyalah menunjukkan sebagian ketidakwajaran DPT.
Misalnya
saja, ada beberapa TPS, yang seharusnya hanya maksimal sekitar 300 pemilih. Tetapi
faktanya di TPS memuat lebih 100 orang. Bahkan ada yang 200 orang lebih yang mempunyai
tanggal lahir yang sama (apakah 1 Juli, atau 31 Desember atau 1 Januari). Contoh
konkret adalah DPT di TPS 5, Desa Genteng, Kecamatan Konang. Bangkalan Jawa
Timur. Di TPS ini, ada 228 DPT bertanggal lahir 1 Juli. Akal sehat tentu sangat
meragukan, bagaimana mungkin di satu TPS, ada 228 orang yang punya data lahir
yang sama tanggalnya, yaitu tanggal 1 Juli. Pengecekan ke Dukcapil terhadap TPS
tersebut, ternyata mereka tidak terdata di KTP elektronik. Padahal menurut UU
No 7 tahun 2017, Pasal 348, yang berhak ada di DPT adalah yang sudah punya KTP
elektronik. Pertanyaannya, mengapa yang tidak punya KTP elektronik bisa terdata
di DPT? Mengapa di TPS 5 tersebut, bisa ada 228 orang yang tanggal lahirnya
sama? Apakah KTP mereka juga menunjukkan mereka tanggal lahirnya sama?
Selain
masalah tanggal lahir yang sama (sekitar17.5juta), masalah lainnya adalah data di
DPT 2019, menunjukkan pemilih berusia di bawah 17 tahun sekitar 20.475 orang. Padahal
di bawah 17 tahun, peraturan tidak membolehkan untuk memilih. KPU melakukan
klarifikasi dengan cara sampling sebanyak 3.384 orang saja. Hasil ini menunjukkan
bahwa KPU tidak melukukan klarifikasi terhadap semua data yang dilaporkan. KPU
hanya mampu mengklarifraksi sebagian kecil saja, yaitu 3.384 dari 20.475 orang
yang bermasalah dan terbukti ada 150 orang yang tidak memenuhi syarat (TMS).
Dengan demikian KPU terbukti melanggar prinsip “one person, one value, one vote”.
Masalah
lainnya, di Banyuwangi dan kota/kabupaten lainnya, ada 117.333 KK yang 1 KK terdiri
dari puluhan, ratusan dan bahkan ada yang 1000 anggota keluarga lebih. Demikian
juga di Majalengka, 1 KK berisi 1826 anggota keluarga. Seperti di Majalengka
ditemukan ada 22.439 KK yang manipulatif dan KPU hanya mampu mengoreksi 2 KK
saja. Artinya sisanya masih manipulatif. Data yang tidak wajar ini rentan
dengan adanya pemilih siluman. Hal ini bisa dibuktikan dengan pengecekan di
lapangan terhadap 1 KK manipulatit yang terdiri dari 1.355 anggota keluarga di
kota Bogor.
Ditemukan
adanya data ganda. Data tersebut, misalnya, di 5 (lima) provinsi saja, ditemukan
sebanyak 6.169.895 orang. Justru KPU menggunakan data salah yang pernah diberikan
oleh BPN untuk menganalisa kegandaan DPT 17,5 juta data yang tidak wajar
tersebut. Hal ini membuktikan KPU tidak pernah melakukan pengecekan terhadap
data tersebut.
B.
Kekacauan Situng KPU dalam Kaitannya dengan DPT
Bahwa
berdasarkan Pasal 1 angka 38 Peraturan KPU Nomor 4 tahun 2019 tentang
Rekapitulasi Hasil Penghitungan Perolehan Suara dan Penetapan Hasil Pemilihan
Umum, Situng merupakan perangkat yang digunakan sebagai sarana infomasi dalam
pelaksanaan penghitungan suara, rekapitulasi hasil penghitungan perolehan
suara, dan penetapan hasil pemilu. Dengan demikian, KPU mempunyai kewajiban
untuk menjaga dan menyajikan data Situng yang benar dan dapat dipercaya. Namun
faktanya, data yang disajikan bermasalah sehingga menimbulkan kekacauan.
Pemberian kode—kode khusus di DPT menyebabkan terbuka lebarnya peluang bagi
pihak-pihak yang melakukan kecurangan Pemilu untuk melakukan manipulasi data
yang menguntungkan Pasangan Calon Nomor Urut 01 . Adapun detail sebab akibat
kekacauan data tersebut dapat kami uraikan sebagai berikut:
1)
Banyaknya kesalahan input data pada SITUNG yang mengakibatkan terjadinya
ketidak sesuaian data (infomasi) dengan data yang terdapat pada 01 yang
dipindai KPU sendiri di 34 ( Tiga puluh empat ) provinsi Seluruh wilayah
Indonesia.
Kami
menemukan banyak sekali kesalahan input data yang dilakukan oleh pihak penyelenggara
(KPU), di mana terkadang jumlah perolehan suara oleh masing—masing paslon
seharusnya lebih besar/iebih kecil berdasarkan sumber data C1 yang bermasalah dalam
kalkulasi pengisian angka.
Banyaknya
kesatahan penjumlahan suara sah yang tidak sesuai dengan jumlah DPTIDPTlePK
Dalam
penjumlahan suara sah banyak sekali kesalahan—kesalahan yang kami temukan dalam
SITUNG KPU,dan pertanyaan kami adalah : Apakah KPU sebagai penanggung jawab PEMILU
2019 tidak memiliki system yang akurat dalalam penjumlahan suara sah dari kedua
paslon, dan apakah Anggaran yang begitu besar tidak cukup untuk KPU memiliki
system penghitungan yang mana bagi kami sangat sederhana. Banyaknya kesalahan
data yang terdapat pada 01 yang dipindai (sumber data yag di miliki KPU awalnya
sudah salah).
Dalam
01 yang dipindai KPU, kami menemukan juga kesalahan penulisan data,baik itu
data DPT,Pengguna Hak Pilih dan juga jumlah suara kedua paslon. Pada penulisan
di C1 kami melihat penulisan secara manual dan tidak menggunakan mesin, tetapi
kami mempertanyakan didalam penulisan manual juga KPU masih melakukan kesalahan
kesalahan yang beniiang ulang dan yang membuat kami lebih terkejut bahwa KPU
telah Uploadl pindai form C1 yang di isi angka salah tersebut dan dapat dilihat
oleh seluruh Masyarakat karena SITUNG KPU dapat diakses Umum dengan informasi
yang salah.
Argumentasi
(Jawaban) KPU sebagai termohon dan Tim Kampanye Nasional Jokowi Maruf sebagai
terkait.
ARGUMETASI
KPU
Pertama
tama penulis akan menguraikan jawaban dari pihak termohon terlebih dahulu
1.
KPU menyatakan sikap tegasnya atas perbaikan permohonan yang dimasukkan pihak
Prabowo-Sandiaga pada sidang pertama, yaitu pada 14 Juni kemarin, karena
disebut menyalahi peraturan karena bertentangan dengan Peraturan Mahkamah
Konstitusi No 5 2019 tentang tahapan Hukum Acara Perselisihan Pemilu yang
kemusdian diubah menjadi PMK No 2 Tahun 2019 dalam rangka menjamin kepastian
hukum karena menurut termohon perbaikan perohonan tidak berlaku pada PHPU
Pilpres tersebut sebagaimna diatur pada PMK tersebut. Kemudian termohon
berpendapat bahwa perbaikan permohonan yang baru buka lah suatu perbaikan sebab
terdapat banyak perubahn terutama dalam posita (dasar permohonan) sehingga
dapat dikatakan perbaikan yang diajukan oleh pemohon merupakan bentuk
permohonan baru.
2.
Pemohon tidak menguraikan kesalahan pada hasil penghitungan suara yang diajukan
oleh termohon dan penghitungan yang benar oleh pemohon begitu juga dalam
petitum pemohon tidak meminta adanya dilakukan penghitungan yang benar sehingga
tidak memenuhi persyaratan pengajuan permohonan sebagaimana diatur 475 ayat 1
dan 2 UU Pemilu Tahun 2017, Pasal 75 UU MK No 24 Tahun 2003, Pasal 8 ayat 1
huruf b angka 4 dan 5 PMK No 4 THN 2018 yang pada pokoknya mengatakan, pokok
permohonan harus memuat penjelasan mengenai kesalahan penghitungan suara yang
dilakukan termohon. Kemudian pihak pemohon tidak menjelaskan cara mengenai
penghitungan yang benar menurut pemohon sehingga memungkinkan permohonan
pemohon tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi. Maka dengan ini termohon
berpendapat bahwa pemohon telah mengakui penghitungan suara yang dilakukan oleh
termohonsudah benar dan sah, jika pemohon merasa pengitugan yang dilakukan
termohon curang dan menyalahi aturan maka seharusnya peohon mencatutmkannya
dalam posita.
3.
Kecurangan TSM (Terstruktur, Sistematis, dan Masif) yang dituduhkan oleh
pemohon adalah sikap tidak netral aparatur pemerintahan termasuk KPU sebagai
penyelenggara pemilu terkait kecurangan pemilu haruslah dibuktian dan bentuk
kecurangan tersebut harus mempengaruhi hasil secara signifikan. Kemudian
pemohon tidak mapu menguraikan secara korelasional terkait tuduhan kecurangan
yang ditujukan kepada termohon dalam memenangkan Paslon 01 Jokowi-Ma’ruf tidak
mampu diuraikan secara jelas.
4.
Persoalan DPT telah diselesaikan bersama pihak Prabowo, Kuasa Hukum termohon
Ali Nurdin mengatakan, Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang dipersoalkan tim hukum
pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, telah diselesaikan sebelum
penyelenggaraan Pemilu 2019. Persoalan tersebut diselesaikan secara
bersama-sama oleh KPU, pihak pasangan Prabowo-Sandiaga, Bawaslu, dan pihak
terkait "Bahwa DPT yang dipersoalkan oleh pemohon merupakan persoalan yang
sudah diselesaikan secara bersama-sama sejak awal antara termohon, pemohon,
pihak terkait serta Bawaslu," ujar Ali saat membacakan jawaban pihak
termohon dalam sidang sengketa hasil pilpres di gedung Mahkamah Konstitusi
(MK), Jakarta Pusat, Selasa (18/6/2019). Dalam catatan KPU, kata Ali, tercatat
ada 7 kali koordinasi antara KPU dan pihak Prabowo-Sandiaga.
5.
Kubu Prabowo dinilai gagal paham soal situng, KPU menilai paslon nomor urut 02
Prabowo-Sandi telah keliru dan gagal paham mengenai Sistem Informasi
Penghitungan Suara (Situng). Ali menegaskan, pencatatan data pada Situng KPU
bukan merupakan hasil ressmi dan bukan pula sumber data rekapitulasi berjenjang
yang menjadi dasar penghitungan perolehan suara tingjat nasional. Kemudian Situng
hanyalah alat bantu yang berbasis pada teknologi informasi untuk menunjukkan keterbukaan
kinerja KPU dalam pelaksanaan tahapan pemungutan penghitungan rekapitulasi,
serta penetapan hasil penghitungan suara Pemilu 2019. Seharusnya pemohon
mempermasalahkan mengenai rekapitulasi suara berjenjang bukannya mempermasalahkan
tentang situng.
Argumentasi
TKN (Tim Kampanye Nasional)
1.
Kubu Prabowo Membangun Narasi Kecurangan Tanpa Bukti
Ketua
Tim Kuasa Hukum TKN, Yusril Ihza Mahendra 'menyentil' gugatan yang dilayangkan
pihak Prabowo-Sandi sebagai upaya membangun opini ketimbang menghadirkan fakta
hukum. "Tantangan terbesar yang dihadapi proses Pemilu 2019 ini adalah
fenomena politik pasca kebenaran atau post truth politics yang menguat beberapa
tahun terakhir ini. Ciri-ciri post truth adalah penggunaan strategi untuk
membangun narasi politik tertentu untuk meraih emosi publik dengan memanfaatkan
informasi yang tidak sesuai dengan fakta, yang membuat preferensi politik
publik lebih didominasi faktor emosional dibandingkan rasional".
Dengan
begitu, sebagai Pihak Terkait, Yusril memandang sangatlah penting untuk memilah
dan mengkritisi bangunan narasi yang dijadikan dalil-dalil Permohonan Pemohon.
Narasi kecurangan yang diulang-ulang terus menerus tanpa menunjukkan
bukti-bukti yang sah menurut hukum, klaim kemenangan tanpa menunjukkan dasar
dan angka yang valid, upaya mendelegitimasi kepercayaan publik pada lembaga
Penyelenggara Pemilu dan lembaga peradilan hendaknya tidak dijadikan dasar
untuk membangun kehidupan politik yang pesimistik dan penuh curiga.
"Semua
elite politik memiliki tanggungjawab agar praktik politik Indonesia tetap
mendasarkan diri pada nilai-nilai moral. Penyebaran berita bohong, hoax,
fitnah, penggunaan sentimen suku, agama dan ras yang sempat mewarnai proses
Pemilu 2019 ini, agar segera diubah menjadi gaya berpolitik yang santun dan
sehat. Tidak boleh terus-menerus berlanjut dan harus dijadikan pelajaran
berharga untuk membangun kehidupan politik yang sehat dan berkeadaban di
masa-masa yang akan datang".
2.
Permohonan Prabowo-Sandi Dinilai Obscuur (Tidak Jelas)
Ketidakjelasan
yang dimaksudkan Yusril di sini adalah, karena kubu BPN dinilainya hanya
membangun konstruksi soal dugaan terjadinya kecurangan. Pemohon, sambungnya,
membangun konstruksi hukum seolah-olah telah terjadi dugaan adanya pelanggaran
dan kecurangan agar Mahkamah dapat memeriksa, mengadili dan memutus Permohonan
Pemohon, yang hal ini justru menjadikan Permohonan Pemohon menjadi obscuur
(tidak jelas).
Gugatan
tersebut juga menurutnya tidak memiliki bukti dan kental asumsi, sehingga
selayaknya majelis hakim mahkamah mengabaikan gugatan BPN seluruhnya. Mengapa
begitu? Karena menurutnya, jika dibaca lebih seksama dan teliti, pada pokoknya
merupakan keinginan Pemohon sendiri untuk menambahkan kewenangan Mahkamah.
Frasa 'Sehingga Perlu Mengadili' secara eksplisit dan verbatim menunjukkan
kehendak subyektif Pemohon agar Mahkamah mempertimbangkan untuk menerima
Permohonan mereka untuk diproses 'beyond the law' atau di luar ketentuan hukum yang
berlaku.
Demikian
pula dalil-dalil yang tidak menyertai asumsi, semakin lengkap dengan tidak
adanya bukti-bukti yang kuat. Sehingga, ia berpendapat, kecurangan yang
dituduhkan kepada TKN mengenai pelaksanaan Pilpres 2019 tidak berdasar, menjadi
kabur atau tidak jelas dari sisi hukum.
3.
Tudingan Kecurangan TSM Tanpa Bukti, Padahal Pengadilan Bicara Bukti Bukan
Asumsi
Menurut
Yusril, pengadilan, dalam hal ini Mahkamah kostitusi, membutuhkan bukti yang
kuat bukannya sekedar narasi atau asumsi. Dirinya mencontohkan salah satu juru
bicara Tim Hukum BPN, Denny Indrayana, yang sebelumnya banyak sekali
menggunakan frasa indikasi, patut diduga, yang jika dihitung pengucapannya 41
kali itu-itu saja.
Selain
itu, dirinya meyakini bahwa Tim Hukum BPN tidak bisa membuktikan gugatan mereka
sendiri nantinya, terutama terkait kecurangan Terstruktur, Sistematis dan Masif
(TSM). Ditambah lagi, kata Yusril, persoalan TSM bukanlah ranah Mahkamah
Konstitusi.
4.
Kecurangan Lewat Program Kenaikan Gaji PNS Tak Bisa Dibuktikan
Terkait
adanya program kenaikan gaji PNS, TNI dan Polri yang dilakukan Paslon Capres
Petahana Joko Widodo, ia justru mempertanyakan apa pengaruh hal itu atas
perolehan suara Paslon Capres-Cawapres 01 Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin. Dirinya
menyatakan kepada wartawan, bahwa dari sekitar 4,1 juta PNS di tanah air ini,
tidak bisa dipanggil satu persatu untuk ditanyakan memilih siapa saat Pilpres.
Lagipula, apakah mereka juga semuanya memilih Joko Widodo? Apakah bisa
dipastikan seperti itu? demikian kata Yusril.
"Kalau
memang itu dianggap satu pelanggaran, apakah ada pengaruhnya terhadap suara.
Misalnya orang yang dinaikan gajinya itu mendukung Jokowi? Tidak juga. Jumlah
pegawai negeri ada 4,1 juta diseluruh Indonesia, apa betul semua memilih Joko
Widodo? Tidak bisa dibuktikan. Untuk membuktikannya harus dipanggil satu
persatu," kata Yusril.
5.
Tolak Permohonan Gugatan Tim Kuasa Hukum BPN (Prabowo-Sandi)
Yusril
masuk pada Petitum yang berbunyi, Berdasarkan seluruh uraian sebagaimana
tersebut di atas, Pihak Terkait memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk
menjatuhkan putusan sebagai berikut:
Dalam
Eksepsi, Pertama, menerima Eksepsi Pihak Terkait untuk seluruhnya. Kedua,
menyatakan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang memeriksa Permohonan Pemohon,
atau setidak-tidaknya menyatakan Permohonan Pemohon tidak dapat diterima.
Sedangkan dalam pokok permohonan, menolak Permohonan Pemohon untuk seluruhnya.
Alasannya,
permoohonan yang dibacakan dan yang diregistrasikan berbeda, kemudian mengenai
perbaikan gugatan perbaikan permohonan dalam PHPU Pilpres tidak diberikan ruang
sehingga permohonan yang diajukan pemohon harusnya tidak dapat diterima.
Kemudian segala bentuk gugatan BPN Paslon 02 Prabowo-Sandi, hanya berbentuk
asumsi tanpa adanya dasar hukum dan bukti yang kuat, sehingga gugatan tersebut
menjadi kabur dan tidak layak dipertimbangkan majelis hakim mahkamah.
2. Analisis
Dalam
kasus ini saya akan mencoba memposisikan diri saya sebagai Hakim Konstitusi. Dengan
menggunakan pendekatan legal formal, dimana dalam hal ini saya hal yang
diprioritaskan adalah kepastian hukum agar terciptanya suatu tertib hukum.
Pertama tama saya hanya akan membahas megenai aspek kuantitatif karena aspek kuantitatif inilah yang menjadi inti daripada digelanrnya perkara sengketa PHPU karena sebagaimana tertuang dalam 475 ayat 1 dan 2 UU Pemilu Tahun 2017, Pasal 75 UU MK No 24 Tahun 2003, dan Pasal 8 ayat 1 huruf b angka 4 dan 5 PMK No 4
THN 2018 yang pada pokoknya mengatakan pokok permohonan harus memuat
penjelasan mengenai kesalahan penghitungan suara yang dilakukan termohon (KPU).
Jika melihat posita/dasar gugatan yang diajukan pemohon dapat dilihat
bahwasanya pemohon tidak mempermaslahkan mengenai kesalahan penghitungan
berjenjang yang diajukan oleh termohon (KPU), pemohon hanya mempermaslahkan
mengenai Situng yang pada dasarnya Situng bukan merupakan hasil penghitungan
resmi karena Situng hanya merupakan bentuk keterbukaan dan tanggung jawab KPU
dalam menyajikan informasi kepada masyarakat. Maka apabila mengacu pada PMK diatas
permohonan BPN tidak memnuhi syarat tentang pemohon harus mampu menunjukkan mengenai
kesalahan penghitungan yang dilakukan oleh pihak termohon dan harus menunjukkantentang
bagaimana tata caara penghitungan yang benar menurut pemohon. Kemudian jika
berbicara mengenai 17 Juta DPT ghaib yang dipermaslahkan oleh pemohon, BPN
dalam hal ini hanya mampu membuktikan sebagian jumlah DPT palsu namun tidak
dapat dibuktikan secara keseluruhan maupun setengahnya, sehingga saya merasa
tidak akan mempengaruhi hasil secara signifikan.
Kemudian
mengenai perbaikan guatan yang dilakukan oleh pemohon, hal tersebut tidak
diatur oleh PMK sehingga saya berpendapat bahwa demi tegaknya hukum permohonan yang baru tersebut, yaitu permohonan yang diajukan pada 11 Juni dinyatakan (niet ontvankelijke
verklaard/NO) alias tidak dapat diterima karena cacat formil serta (obscuur
libel) atau maknanya kabur bahkan bisa saja ditolak karena sejauh ini
permohonan yang dimohonkan pihak pemohon
dan poin-poin permohanan lainnyadari sekian banyak pun belum bisa membuktikan
secara konkrit atas dalil-dalil yang di utarakan karena bahwasannya ada asas
yang berbunyi “ Actori Incumbit Probatio” dimana mempunyai makna barangsiapa
yang mendalilkan maka juga harus membuktikan
Komentar
Posting Komentar