LPH: Aspek Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis (Penlaran Hukum)
1. Aspek
Ontologis
Secara ontologis, ilmu hukum, atau disiplin hukum
pada umumnya terikat pada satu pertanyaan utama, yakni tentang apa hakikat
hukum. Pertanyaan ini berdimensi ontologis, sekalipun sesungguhnya sudah berada
di luar kajian ilmu hukum itu sendiri. Kajian ini sebenarnya lebih tepat
diserahkan kepada teori hukum untuk menjawabnya.
Upaya mencari pengertian hukum secara definitive
telah sejak lama dicoba dan terbukti hasilnya gagal untuk disepakati. Kajian
ontologis terhadap hakikat hukum secara garis besar dapat dipetakan kepada lima
butior pengertian. Soetandyo Wignjosoebroto secara tepat menunjukkan kelima
pemaknaan hakikat hukum itu, dengan mengartikan hukum sebagai:
a) Asas-asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan
berlaku universal;
b) Norma-norma positif dalam sistem
perundang-undangan suatu Negara;
c) Putusan
hakim in-concreto, yang tersistematisasi sebagai judge-made-law;
d) Pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan,
eksis sebagai variabel sosial yang empirik;
e) Manifestasi makna-makna simbolik para pelaku
sosial sebagaimana tampak dalam interaksi di antara mereka.
Dalam model-model penalaran sebagai konstelasi
kerangka orientasi berpikir yuridis, kelima aspek ontologis tentang hukum ini
akan terlihat jelas. Masing-masing pengertian tentang hukum berangkat dari
asumsi-asumsi tersendiri.
Hakikat hukum dapat diartikan sebagai asas-asas
kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati
dan berlaku universal. E. Sumaryono mengatakan “kebenaran hukum” di sini
dapat dibaca sebagai validitas hukum. Dengan demikian, hakikat hukum baik
dilihat dari aspek formalitasnya (validitas, keabsahan) maupun dari segi
substansialnya (muatan keadilan) merupakan realitas kodrati. Pengertian ini
berangkat dari asumsi bahwa segala sikap dan perilaku manusia dalam menjalani
kehidupannya wajib tunduk pada suatu sistem moralitas yang bersifat kodrati.
Sistem moralitas tadi kemudian mengalami internalisasi ke dalam diri manusia
pribadi, sehingga menjadi moralitas sosial.
Moralitas sosial tersebut jelas masih terlalu
abstrak untuk mengatur secara rinci aktivitas manusia hari per hari. Untuk itu
manusia diperbolehkan membuat hukumnya sendiri (lex humana atau human law).
Namun, hukum buatan manusia ini baru sah (valid), mengikat, dan membebani
kewajiban, sepanjang dapat menunjukkan konsistensi dengan moralitas social di
atasnya. Moralitas sosial ini adalah standar regulative yang harus diacu oleh
setiap hukum buatan manusia, sehingga akhirnya semua hukum itu mengidentifikasikan
diri sebagai pembawa pesan-pesan moralitas yang objektif. Objektivitas
moralitas itu dapat dicari pada asas-asas kebenaran dan keadilan yang kodrati,
yang dengan sendirinya berlaku universal dan abadi.
Berangkat membahas mengenai pemaknaan hukum yang
pertama, mengutip dari Soetandyo Wignojosoebroto bahwa pemaknaan hukum sebagai
asas-asas kebenaran dan keadilan kodrati ini merupakan karakteristik penalaran
yang berorientasikan filsafat. Pemaknaan kedua tentang hakikat hukum adalah
dengan menyatakan hukum sebagai norma-norma positif dalam sistem
perundang-undangan suatu Negara. Konsep hukum seperti ini dapat dipahami
berumur sama tuanya dengan konsep Negara itu sendiri. Hal ini dimaksudkan
dengan awal mula konsep sebuah Negara merupakan ikatan genealogis suatu
keluarga besar (dinasti). Sehingga dalam penyelenggaraannya mereka yang
dianggap tua berdasarkan keturunannya, yang kemudian berkembang menjadi yang
dituakan. Pemaknaan hukum yang ketiga, belum mengubah konsep hukum menjadi
norma. Walaupun sudah mengalami positivisasi. Hal ini lah yang disukai oleh
para ahli hukum Kontinental.
Dari ketiga pemaknaan hukum diatas akhirnya mulai
menerobos batas-batas yang disebut yuridis-normatif yang formal-lugas-netral
itu kea rah sistem Civil Law. Dan hukum pun mulai diobservasikan dengan kaca
mata empiris.
Melihat dari sejarah ada salah satu
tradisi yang dipertahankan adalah lembaga pengadilan. Hal ini yang terjadi
dalam sistem Common Law. Dan pengadilan ini memiliki peranan besar sehingga
menjadikan pemaknaan hukum meluas kea rah penambahan fungsi hukum. Dari
pemikiran itulah yang memunculkan gagasan-gagasan baru bahwa hukum tidak
sekedar berperan sebagai tertib social dan penyelesaian sengketa, melainkan
juga sebagai perekayasa sosial.
Pemaknaan hakikat hukum yang keempat adalah hukum
sebagai pola-pola perilaku social yang terlembagakan, eksis sebagai variabel
social yang empirik. Pemaknaan ini menggunakan pendekatan kultur bahwa hukum
bukanlah kreasi penguasa politik, melainkan sebuah fenomena budaya. Gerakan
memaknai hukum sebagai fenomena kultural ini di kawasan keluarga sistem Civil
Law diprakasai oleh Mazhab sejarah, yang dilanjutkan oleh pemikir-pemikir
sosiologi yang sangat beragam pendekatannya.
Sementara Mazhab sejarah dan ahli-ahli sosiologi
menyoroti hukum dengan optic makro, maka muncul sekelompok ahli lainnya yang
memotret hukum dari perspektif mikro. Kajian mereka inilah yang kemudian
menampilkan pemaknaan kelima dari hukum, yaitu hukum sebagai manifestasi
makna-makna simbolik para pelaku social sebagaimana tampak dalam interaksi di
antara mereka. Cara memaknai hukum seperti ini tidak dapat dipisahkan dari
eksistensialisme sebagai suatu aliran besar yang melanda filsafat pada Abad ke-
20.
Para antripolog menyukai pendekatan eksistensialisme
ini karena melihat hukum dari sebuah manifestasi makna simbolik yang datang
dari individu-individu pelaku sosial itu sendiri. Dikarenakan kajiannya dalam
bentuk empiris dengan melepaskan diri dari makna simbolik dari sebuah
undang-undang ataupun putusan hakim. Dan analisisnya lebih terhadap pada
pola-pola perilaku yang otonom.
2. Aspek
Epistemologis
Aspek epistemologis berupa metode yang dimaksud
dalam konteks ini adalah hal-hal yang terkait dengan cara-cara penarikan
kesimpulan dalam suatu proses penalaran hukum. Pada umumnya, penalaran hukum
(legal reasoning) direpresentasikan dengan mengikuti rangkaian proses bekerja
(berpikir) seorang hakim (judicial reasoning). Dengan demikian, pengertian
penalaran hukum telah dipersempit menjadi penalaran hakim ketika yang
bersangkutan menghadapi suatu kasus konkret.
Jika dikaitkan dengan aspek ontologis tentang
pemaknaan hukum, judicial reasoning dengan personifikasi seorang hakim ini
jelas sudah merupakan penyempitan ruang lingkup. Hakim tidak lain adalah
pengemban hukum partisipan (madespeler), sehingga bentangan penalaran hukum
menurut langkah-langkah penalaran pada umumnya tentu akan mengikuti pemaknaan
hukum menurut kategori pertama kedua dan ketiga; yaitu hukum diartikan sebagai
asas-asas kebenaran dan keadilan, atau norma-norma positif dalam sistem
perundangan-undangan hukum nasional, atau putusan hakim in-croncreto yang
tersistematisasi sebagai judge-made-law. Sekalipun demikian, pada langkah
tertentu hakim sebagai pengemban hukum partisipan terbuka kesempatan untuk
memaknai hukum menurut cara pandang tertentu. Artinya tidak menutup kemungkinan
hakim mengambil alih pemaknaan hukum yang selama ini digunakan para pengamatan
(toeschouwer).
Enam langkah utama penalaran hukum, yaitu:
a) Mengidentifikasi
fakta-fakta untuk menhasilkan suatu struktur (peta) kasus yang sungguh-sungguh
diyakini oleh hakim sebagai kasus yang riil terjadi.
b) Menghubungkan struktur kasus tersebut dengan
sumber-sumber hukum yang relevan, sehingga ia dapat menetapkan perbuatan hukum
dalam peristilahan yurudis (legal term).
c) Menyeleksi
sumber hukum dan aturan hukum yang relevan untuk kemudian mencari tahu
kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum itu (the policies underlying
those rules), sehingga dihasilkan suatu struktur (peta) aturan yang koheren;
d) Menghubungkan
struktur aturan dengan struktur kasus;
e) Mencari alternatif-alternatif penyelesaian
yang mungkin;
f) Menetapkan
pilihan atas salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai
putusan akhir.
Apabila diilustrasikan dalam sebuah skema, akan
tampak penyederhanaan dari enam langkah penalaran tersebut dalam Ragaan III-c
dibawah.
a.
Langkah Pertama
Dalam ragaan di atas diasumsikan ada beberapa pihak
(katakanlah X dan Y) yang sedang berperkara. Para pihak mengajukan perkara
mereka ke pengadilan. Hakim berkewajiban untuk menempatkan para pihak pada
posisi yang sejajar dan ia berkewajiban mendengarkan keterangan yang diberikan
oleh masing-masing pihak (audi alteram partem). Tentu saja para pihak akan
mengajukan versi kasus menurut pandangan masing-masing. Hakim akan melakukan
identifikasi atas setiap versi kasus itu, dengan membuang keterangan-keterangan
yang irelevan, sehingga ia sampai pada keyakinan tentang posisi kasus yang
sesungguhnya, yang disebut sebagai struktur kasus atau struktur fakta.
Sekalipun hakim dilarang untuk menolak perkara yang
diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada hukum yang mengaturnya, ia tetap
perlu diyakinkan oleh masing-masing pihak melalui serangkaian argumentasi.
Sintesis ini mewujud menjadi keyakinan hakim, yang pada saatnua dapat dijadikan
sebagai sumber [hukum] “otonom” bagi yang bersangkutan dalam menyelesaikan
kasus tersebut.
Keyakinan hakim dalam duduk perkara suatu kasus
sangat penting, khususnya pada sistem peradilan dalam keluarga sistem civil law
yang menempatkan hakim sebagai pemberi keputusan tunggal baik dari segi fakta
(penetapan guilty or not guilty) maupun hukumnya. Dapat tidaknya perkara ini
dilanjutkan, sangat bergantung pada keyakinan hakim tentang peta kasus tersebut
sebagaimana terkonstruksi di benaknya.
Sekali lagi ditegaskan, bahwa langkah pertama ini
tidak selalu berjalan linear mendahului langkah-langkah berikutnya seperti akan
dikemukakan kemudian. Menurut Brught dan Winkleman, langkah-langkah itu
seringkali saling bertumpuan. Penetahuan tentang isi dari aturan hukum yang
dapat diterapkan ikut menentukan pada waktu hakim menyeleksi fakta-fakta mana yang
dianggapnya relevan.
b.
Langkah Kedua
Pada langkah berikutnya, hakim akan melakukan
pengkualifikasian dengan menerjemahkan kasus itu ke dalam peristirahatan
yuridis. Pengkualifikasian merupakan titik krusial dalam penalaran hukum.
Fakta-fakta yang dikemukakan para pihak umumnya diformulasikan dalam simbol,
sebagian besar berupa kata-kata yang mungkin dimaknai secara berbeda menurut
kacamata yuridis.
Seorang hakim sebagai pengemban hukum, tentu saja
telah dibekali pengetahuan yang cukup tentang macam-macam kualifikasi perbuatan
hukum. Tiap-tiap kualifikasi tersebut diberi peristilahan yuridis (legal term)
melalui sumber-sumber hukum yang telah disistematisasi oleh ilmu hukum.
Pengkulifikasian tersebut dapat mudah dilakukan
apabila kasus yang dihadapi strukturnya sederhana (clear case). Namun dalam
kenyataannya, tidak semua kasus mempunyai struktur yang sederhana. Ada kasus
yang strukturnya sedemikian kompleks (hard case; doubful case; penumbra case)
karena terdiri dari kombinasi berbagai bidang hukum dan perbuatan hukum
sekaligus.
Kegiatan penemuan hukum pun sesungguhnya telah
dimuali pada langkah pengkualifikasian ini. Tindakan pengkualifikasian itu
sendiri pertama-tama sudah menggunakan logika induktif, yakni dengan
menghubungkan fakta-fakta yang muncul dalam peristiwa yang telah
teridentifikasi tersebut dengan sumber hukum tertentu.
Untuk kasus yang kompleks (hard case), dapat terjadi
sumber hukumnya tidak dapat diacu secara cepat, sehingga dibutuhkan
penyeleksian aturan-aturan secara lebih tepat untuk akhirnya dapat diperoleh
kepastian (dikonstatasi) bahwa peristiwa konkret itu adalah suatu peristiwa
hukum (peristiwa yang berakibat hukum).
c.
Langkah Ketiga
Terdapat tiga langkah yang harus dilakukan hakim
pada langkah ketiga ini, yaitu: (1) menyeleksi sumber hukum terberi, (2)
menyeleksi aturan hukum dalam sumber hukum terberi, dan (3) mencari kebijakan
dalam aturan tersebut. Adapun yang dimaksud dengan kebijakan ini adalah politik
hukum dalam terminologi ilmu politik. Pada langkah ketiga ini orientasi
berpikir secara yuridis seorang hakim memiliki peranan yang sangat penting.
Latar belakang keluarga sistem hukum memberikan pola
pada sistem hukum negara dalam menentukan jenis-jenis sumber hukum terberi.
Contohnya adalah pada negara yang menganut civil law yang mana para hakim akan
melihat undang-undang terlebih dahulu alih-alih sumber hukum lainnya. Kemudian,
di dalam sumber hukum itu akan ditemukan sejumlah aturan yang dianggap relevan
dengan permasalahan yang sedang dihadapi.
Akan tetapi jika sumber hukum yang sudah diseleksi
itu memiliki ketidaksempurnaan pada koherensinya, maka hakim dapat menggunakan
asas-asas hukum. Contohnya adalah antara undang-undang umum dan undang-undang
yang khusus dapat dicari pemecahannya dengan asas lex specialis derogate lex
generalis, ataupun undang-undang lama dan undang-undang baru yang dapat dicari
pemecahannya dengan asas lex posteriori derogate lex priori. Lalu jika
persoalan koherensi antara aturan telah teratasi, maka komposisi aturan dapat
disajikan. Namun, semua aturan tadi belum dapat memecahkan kasus. Oleh sebab
itu, hakim perlu menganalisis aturan-aturan yang terpilih tadi.
Burght dan Winkelman berpendapat terdapat dua syarat
untuk mengenali isi aturan. Pertama, membaca teks dengan baik sebab tidak semua
aturan hukum dirumuskan secara jelas. Dan kedua, adanya pengetahuan mengenai
pengertian-pengertian yang digunakan dalam aturan tersebut.
Pandangan ini akhirnya mengantarkan hakim pada suatu
keperluan yang mana hakim melakukan interpretasi atau menafsirkan hukum
terkait.
Metode penafsiran ini adalah salah satu metode
penemuan hukum (rechtsvinding). Di luar itu, terdapat metode lain yang disebut
metode kontruksi atau argumentasi. Sudikno Mertokusumo membedakan kedua metode
ini sebagai berikut:
“Interpretasi adalah metode penemuan hukum dalam hal
peraturannya ada tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwanya.
Sebaliknya, dapat terjadi juga hakim harus memeriksa dan mengadili perkara yang
tidak ada peraturannya yang khusus. Di sini hakim menghadapi kekosongan atau
ketidak-lengkapan undang-undang yang harus harus diisi atau dilengkapi, sebab
hakim tidak boleh menolak memeriksa dan mengadili perkara dengan dalih tidak
ada hukumnya atau tidak lengkap hukumnya. Dalam hal ini apa yang harus dilakukan
oleh hakim untuk menemukan hukum digunakan metode berpikir analogy, metode
penyempitan hukum, dan metode a contrario.”
Terdapat banyak metode interpretasi yang satu sama
lain bersifat saling melengkapi. Metode-metode tersebut antara lain:
1)
Gramatikal
2)
Otentik
3)
Teologis (sosiologis)
4)
Sistematis (logis)
5)
Historis (subjektif)
6)
Komparatif
7)
Futuristis (antisipatif)
8)
Restriktif
Metode-metode interpretasi di atas secara sederhana
dapat dikelompokkan berdasarkan dua pendekatan, yaitu the textualist approach
(focus on text) dan the purposive approach (focus on purpose). Interpretasi
Gramatikal dan Interpretasi Otentik termasuk kategori pendekatan pertama,
sementara yang lainnya mengacu pada pendekatan kedua.
Sementara itu untuk metode dari konstruksi hukum
atau argumentasi terbagi menjadi empat, yaitu:
1)
Argumentum per analoglam
2)
Penghalusan hukum (penyempitan hukum)
3) Argumentum a contrario
4)
Argumentum a fortiorio
Sangat menarik untuk mengamati bahwa batas antara kedua metode ini nyatanya begitu tipis. Contohnya adalah pada interpretasi ekstensif dan analogi yang sebetulnya memiliki persamaan memperluas keberlakuan suatu rumusan norma. Akan tetapi, terdapat perbedaan antara keduanya, yaitu interpretasi ekstensif masih berpegangan pada aturan yang ada, sedangkan analogi peristiwa yang menjadi persoalan tidak dapat dimasukkan ke dalam aturan yang ada.
Komentar
Posting Komentar