Fungsi, Kewenangan, dan Kedudukan Mahkamah Konstitusi
Fungsi, Wewenang, dan Kedudukan
Mahkamah Republik Indonesia
Mahkamah
Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[1] Mahkamah konstitusi merupakan lembaga negara
yang berwenang untuk melakukan hak pengujian (judicial review, atau secara
lebih spesifiknya melakukan constitucional review) Undang-Udang terhadap
Undang-Undang Dasar serta tugas khusus lain yaitu forum previlegiatum atau
peradilan yang khusus untk memutus pendapat DPR bahwa Presiden/Wakil Presiden
tidak lagi memenuhi syarat serta memutus pendapat DPR bahwa presiden telah
melanggar hal-hal tertentu yang disebutkan dalam UUD sehingga dapat
diberhentikan.[2]
Mahkamah konstitusi memiliki sembilan orang anggota hakim konstitusi yang
ditetapkan dengan keputusan presiden, yang diajukan tiga orang oleh mahkamah
agung, tiga orang oleh dewan perwakilan rakyat dan tiga orang oleh presiden.
Ketua dan wakil ketua mahkamah konstitusi dipilih dari dan oleh hakim
konstitusi untuk masa jabatan selama tiga tahun. Hakim konstitusi harus
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil dan negarawan,
serta tidak merangkap sebagai pejabat negara hal itu dipertimbangkan untuk
mengurangi penyebab terjadinya tindakan penyalahgunaan kewenangan.
Kelahiran
Mahkamah Konstitusi (MK) pasca-amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) membawa Indonesia ke arah demokrasi yang lebih
baik. Hal ini karena adanya suatu lembaga tersendiri yang secara khusus menjaga
martabat UUD 1945 sebagai norma tertinggi di Indonesia, sehingga setiap
tindakan yang berkaitan dengan konstitusi dapat ditanggapi secara khusus pula
di Mahkamah Konstitusi (MK). Selain itu, posisi Mahkamah Konstitusi (MK) dalam
struktur kelembagaan negara sebagai lembaga yang sejajar dengan Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), Presiden, Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) telah
mempertegas bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga yang memiliki
otoritas tinggi dalam koridor kewenangannya.[3]
A. Fungsi
Sebagai
salah satu pemegang kekuasaan kehakiman di Indonesia, fungsi konstitusional
yang dimiliki oleh MK adalah fungsi peradilan untuk menegakkan hukum dan
keadilan. Namun fungsi tersebut belum bersifat spesifk yang berbeda dengan
fungsi yang dijalankan oleh MA. Fungsi MK dapat ditelusuri dari latar belakang
pembentukannya, yaitu untuk menegakkan supremasi konstitusi. Oleh karena itu
ukuran keadilan dan hukum yang ditegakkan dalam peradilan MK adalah konstitusi
itu sendiri yang dimaknai tidak hanya sekadar sebagai sekumpulan norma dasar,
melainkan juga dari sisi prinsip dan moral konstitusi, antara lain prinsip
negara hukum dan demokrasi, perlindungan hak asasi manusia, serta perlindungan
hak konstitusional warga negara. Di dalam Penjelasan Umum UU MK disebutkan
bahwa tugas dan fungsi MK adalah menangani perkara ketatanegaraan atau perkara
konstitusional tertentu dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan
secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.
Selain itu, keberadaan MK juga dimaksudkan sebagai koreksi terhadap pengalaman
ketatanegaraan yang ditimbulkan oleh tafsir ganda atas konstitusi Fungsi tersebut dijalankan melalui wewenang
yang dimiliki, yaitu memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu
berdasarkan pertimbangan konstitusional. Dengan sendirinya setiap putusan MK
merupakan penafsiran terhadap konstitusi. Berdasarkan latar belakang ini
setidaknya terdapat beberapa fungsi yang melekat pada keberadaan MK dan
dilaksanakan melalui wewenangnya, yaitu:[4]
>
Sebagai penafsir konstitusi (the fnal interpreter of the constitution)
Konstitusi
adalah sebuah aturan hukum yang berlaku dalam suatu negara, yang mana memiliki
arti bahwa konstitusi ini merupakan wilayah kerja seorang hakim. Dalam
melaksanakan segala kewenangannya, hakim MK memiliki hak untuk melakukan
penafsiran terhadap konstitusi. Apabila terdapat undang-undang yang dianggap bertolak
belakang atau bertentangan degan konstitusi, maka Hakim dapat menyempurnakan
atau melengkapi, menjelaskan makna, dan bahkan membatalkannya.
>
Menjaga hak asasi manusia (the protector of human rights)
Konstitusi
memberi perlindungan terhadap hak-hak tertentu yang dimiliki oleh masyarakat.
Jika legislatif maupun eksekutif mencederai konstitisu secara inkonstitusional,
maka disinilah Mahkamah Konstitusi memiliki peran sebagai wadah pemecahan
masalah.
>
Sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution)
Dalam
Undang-Undang No.24 Tahun 2003, yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi,
tercantum istilah penjaga konstitusi atau yang juga dikenal sebagai the
guardian of constitution. MK berfungsi sebagai pengawal hebat yang mengandalkan
kecerdasan, kreativitas, serta wawasan yang luas.
>
Pelindung demokrasi (the protector of democracy).
Penyelenggaraan
pemilu dengan azas jujur dan adil merupakan salah satu bentuk demokrasi yang
telah ditegakkan sejak dulu. Mahkamah Konstitusi berfungsi menjadi penegak
demokrasi yang memiliki tugas untuk menciptakan pemilu yang adil dan jujur.
Jadi, selain menjadi lembaga pengadilan, MK juga berfungsi sebagai suatu
pengawal yang menjamin tegaknya demokrasi di Indonesia.
B. Wewenang
Dalam
menjalankan tugasnya Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan yang telah diatur
dalam UU No 24 tahun 2003. Kewenangan tersebut diantaranya:[5]
1. Menguji
Undang Undang terhadap Undang Undang Dasar 1945
Kewenangan
yang paling penting dari keempat kewenangan yang harus dilaksanakan oleh MK
(Mahkamah Konstitusi) menurut UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah
kewenangan untuk melakukan pengujian konstitusi undang-undang. maka dari
keempat kewenangan tersebut, yang dapat dikatakan paling banyak mendapat
sorotan di dunia ilmu pengetahuan adalah pengujian atas konstitusi
Undang-undang. MK (Mahkamah Konstitusi) harus bisa membangun karakter bangsa
diera globalisasi sekarang ini, yang mana hukum peradilan harus tegak
setegak-tegaknya dengan begitu nilai-nilai pendidikan karakter bangsa dalam
segi hukum akan terbentuk.
Pengujian
terhadap UU dilaksanakan melalui landasan UUD 1945. Pengujian dilakukan dengan
2 cara yaitu materil atau formil. Pengujian materil berkenaan dengan pengujian
atas UU, sehingga jelas bagian mana dari UU yang bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945. Yang diuji dapat terdiri dari 1 bab, 1
pasal, 1 kalimat ataupun 1 kata dalam UU yang bersangkutan. kemudian pengujian
formil adalah pengujian berkenaan dengan proses pembentukan UU tersebut menjadi
UU apakah telah mengikuti prosedur yang berlaku dan tidak bertentangan dengan
UUD 1945 2. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945
Mengenai
hal sengketa dalam segala hal kewenangan lembaga konstitusi negara adalah
adanya perbedaan pendapat atau pemikiran yang disertai persengketaan lainnya terhadap kewenangan setiap lembaga
negara itu. Hal ini bisa terjadi mengingat sistem hubungan antara satu lembaga
dengan lembaga lainnya menganut prinsip check and balances, yang berarti
sederajat tetapi saling mengendalikan satu dengan yang lainnya. Sebagai akibat
dari hubungan tersebut, dalam melaksanakan kewenangan masing-masing lembaga
timbul kemungkinan terjadinya perselisihan. Mahkamah Konstitusi dalam perkara
ini, akan menjadi hakim yang akan mengadili dengan seadil-adilnya.
3. Memutus
pembubaran partai politik
Setelah
amademen UUD NRI 1945, pembubaran partai politik diatur dalam UUD NRI karena
beberapa alasan yang menjadi dasar untuk dapat membubarkan partai politik
termasuk pelanggaran konstitusional. Oleh karena inilah, maka wewenang untuk
mengadili dan membubarkan partai politik inilah menjadi wewenag dari MK.
Beberapa
alasan yang dapat dijadikan dasar untuk membubarkan partai politik oleh MK
adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 68 ayat (2) UU MK jo. Pasal Pasal 40 ayat
(2) dan ayat (5) jo. Pasal 48 ayat (3) dan ayat (7) UU Partai Politik, di
antaranya:
1. Mempunyai
ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan dari partai politik yang
bersangkutan bertentangan dengan UUD NRI 1945;
2. Menganut
dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham
komunisme/Marxisme-Leninisme.
3. Melakukan
kegiatan atau akibat yang ditimbulkan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan
peraturan perundang-undangan; atau
4. Melakukan
kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
4. Memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum
Berdasarkan
Pasal 22 ayat (2) UUD 1945, pemilihan umum memiliki tujuan untuk memilih
presiden dan wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. Peserta Pemilihan Umum itu ada tiga, yaitu pertama, pasangan
calon presiden/wakil presiden, kedua, partai politik peserta pemilihan umum
anggota DPR dan DPRD, dan ketiga, (perorangan calon anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD).
Mahkamah
Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau
perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Memutuskan
segala pemasalahan sengketa penuntutan pertanggung jawaban presiden atau wapres
dalam istilah resmi UUD 1945 diberikan sebagai kewajiban Mahkamah Konstitusi
untuk memutuskan pendapat DPR bahwa Presiden maupun Wapres telah melakukan
pelanggaran hukum negara yaitu pengkhianatan terhadap negara, melakukan
tindakan korupsi yang memiliki dampak
korupsi bagi negara dan masyarakat, dan lain sebagainya. Atau perbuatan tercela
yang menyebabkan presiden atau Wapres tidak lagi memenuhi syarat menjadi Presiden
dan Wakil presiden menurut UUD dan juga meninggalkan tugas,fungsi, dan wewenang
presiden dan wakil presiden. Maka Mahkamah Konstitusi memiliki kewajiban untuk
memberikan putusan atas opini atau pendapat DPR bahwa presiden dan/atau Wakil
Presiden diduga melakukan perkara pelanggaran hukum seperti, penghianatan
terhadap negara sendiri, korupsi, penyuapan, tindakan pidana lainnya dan juga
perbuatan tercela yang menyebabkan presiden dan wakil presiden tidak lagi
memenuhi persyaratan seperti dalam UUD 1945.
C. Kedudukan Mahkamah Konstitusi
Kekuasaan
negara pada umumnya diklasifkasikan menjadi tiga cabang, walaupun kelembagaan
negara saat ini mengalami perkembangan yang sangat pesat dan tidak sepenuhnya
dapat diklasifkasi ke dalam tiga cabang kekuasaan itu. Namun demikian, cabang kekuasaan
legislatif, eksekutif, dan yudikatif adalah tiga cabang kekuasaan yang selalu
terdapat dalam organisasi negara. Dari
ketiga cabang diatas MK termasuk kedalam lembaga yudikatif, cabang kekuasaan
yudikatif ini seringkali diterjemahkan sebagai kekuasaan kehakiman. Lebih
lanjut mengenai kedudukan MK sebagai lembaga kehakiman diatur dalam, Pasal 24
UUD negara RI 1945 memberi penegasan bahwa:[6]
(1)
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
(2)
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Dari
kedua pasal diatas kita dapat melihat bahwa, kedudukan Mahkamah konstitusi
menjadi lembaga peradilan yang berdiri sendiri. Mahkamah konstitusi dan
mahkamah agung merupakan dua lembaga negara yang sejajar, dari rumusan ini
dapat disimpulkan bila kekuasaan kehakiman terbagi dalam 2 (dua cabang), yaitu
cabang peradilan biasa (ordinary court) yang mana berpuncak pada MA dan cabang
peradilan konstitusi yang dijalankan oleh MK.
[1]
Pasal 1 UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
[2]
Moh. Mahfud, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi,(Jakarta:Rajawali Press, 2011),Hlm 118
[3]
Abdul Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta:
Konstitusi Press, Yogyakarta, 2006), Hlm. 109.
[4] Suhadi,
M.si, Hukum Tata Negara, Laboratorium Sosial Politik Press, Jakarta, 2016, Hlm
126
[5] Pasal 10 UU No24 tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi
[6] Pasal 24
UUD 1945
Komentar
Posting Komentar