Sumber Hukum Dalam Acara Peradilan Agama


Sebelum membahas mengenai sumber hukum dalam acara peradilan agama saya akan sedikit memberikan intermezo mengenai apa itu pengadilan agama dan apa saja wewenang dari pengadilan agama. Pengadilan agama (biasa disingkat: PA) merupakan sebuah lembaga peradilan dilingkungan Peradilan Agama yang berkedudukan di Ibu Kota, Kabupaten atau Kota. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Agama memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam. Pengadilan Agama dibentuk melalui Undang-Undang, dengan daerah hukum meliputi wilayah Kota atau Kabupaten. Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan (Ketua PA dan Wakil Ketua PA), Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita.
Pengadilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara Indonesia yang sah yang bersifat peradilan khusus, yang berwenang dalam jenis perkara Perdata Islam tertentu, bagi orang-orang Islam di Indonesia. Perkara warisan merupakan salah satu perkara perdata Islam yang menjadi wewenang Pengadilan Agama selain masalah perkawinan, wasiat, hibah wakaf, zakat, infaq, s{adaqah dan ekonomi syariah. Maka umat Islam yang menyelesaikan perkara kewarisan di Pengadilan Agama, di samping telah melaksanakan ibadah juga melaksanakan aturan Allah SWT, dalam waktu yang sama telah patuh kepada aturan yang ditetapkan Negara.
Untuk melaksanakan tugas pokoknya (menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan perkara) dan fungsinya (menegakkan hokum dan keadilan), maka Peradilan Agama dahulunya menggunakan acara yang terserak-serak dalam berbagai peraturan perundang-undangan, bahkan juga acara dalam hukum tidak tertulis yang menjadi dasar para Hakim (hokum Islam yang belum dibukukan dalam bentuk peraturan perundang-undangan), namun, setelah adanya UU Nomor 7 Tahun 1989, maka hukum acara Peradilan Agama menjadi konkrit.  Dimana undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama telah 2 kali mengalami perubahan yaitu undang-undang No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan undang-undang nomor 50 tahun 2009.

Sumber Hukum Acara Peradilan Agama
1.      Sumber Hukum Materiil
Hukum materiil peradilan agama adalah hukum yang  mengatur kepentingan-kepentingan dan hubungan-hubungan yang berwujud perintah dan larangan. Hukum materiil acara peradilan agama adalah hukum Islam yang sering kita kenal sebagai  fiqih, hukum materiiil peradilan agama pada kala itu bentuknya belum tertulis dan belum terkodifikasi dengan baik karena bentuknya masih terdapat dalam beberapa kitab fiqih yang berbeda. Sehingga hal ini seringkali menimbulkan perbedaan ketentuan hukum mengenai masalah yang sama. Maka, untuk mengeliminasi perbedaan tersebut dikeluarkanlah undang-undang No 22 Tahun 1946 dan Undang-Undang No 23 Tahun 1954 yang mengatur tentang hukum perkawinan, talak, dan rujuk. Kemudian Undang-Undang ini ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya surat biro peradilan agama No B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai Peraturan Pelaksana Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 1957 tentang pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura. Dalam surat biro pengadilan terdebut dinyatakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum materiil dalam memeriksa dan memutus suatu perkara maka, para hakim peradilan agama dianjurkan untuk menggunakan kitab kitab fiqih sebagai rujukan hukum guna mengambil suatu putusan.[1]
Atas dasar itu semua dan untuk mewujudkan kepastian hokum Islam dibidang perkawinan, waris, dan wakaf. Maka, pemerintah segera membuat Kompilasi Hukum Islam yang didasarkan pada SKB Mahkamah Agung dan Menteri AgamaNo 07/KMA/1985 dan No 25 Tahun 1985 Tentang Pelaksanaan Pembentukan Kompilasi Hukum Islam, kemudian Pemerintah mengeluarkan Instruksi presiden No1 tahun 1991 tentang Penyebaran Kompilasi hokum Islam. Haal ini dilakukan karena kebutuhan masyarakat atas hokum Islam untuk menangani masalah yang berkaitan dengan perkawinan, waris, dan wakaf sangat mendesak.[2]
2.      Sumber Hukum Formil
Berdasarkan pasal 5 ayat 1 UU Dar. 1/1951 maka hukum acara perdata pada pengadilan negeri dilakukan dengan memperhatikan ketentuan UUDar. Tersebut menurut peraturan-peraturan Republik Indonesia dulu yang telah ada dan berlaku untuk pengadilan negeri maupun untuk pengadilan agama dalam daerah Republik Indonesia dahulu. Yang dimaksud oleh UUDar. 1/1951 tersebut tidak lain adalah Het Herziene Indinesisch Reglement (HIR) atau reglement Indonesia yang telah diperbaharui S. 1848 No.16, S 1941 No. 44 untuk daerah Jawa dan Madura, dan Rechtsreglement Buitengewsten (R.Bg atau Reglemen daerah seberang S 1927 no. 227) untuk luar Jawa dan Madura.
1. Herziene Indonesische Reglement (HIR)
HIR berasal dari IR (Inlandsche Reglement), dimuat dalam lembaran negara No. 16 jo 57/1848 yang judul lengkapnya adalah Reglement op de uit oefening van de politie, der Burgelijke rechtspleging en de Strafvordering onder de inlanders en Vremde Oosterlingennop Java en Madura (reglemen tentang melakukan tugas kepolisian mengadili perkara perdata dan penuntutan perkara pidana terhadap golongan BumiPutera dan Timur asing di Jawa Madura).[3] Seperti judulnya maka isi HIR dapat dibagi dua yaitu bagian acara pidana dan acara perdata, yang diperuntukan bagi golongan Bumiputera dan Timur asing di Jawa dan Madura untuk berperkara di muka
landraad. Untuk hukum acara perdata tercantum dalam pasal 115 sampai dengan 245.
 2. Reglement Voor de Buitegewesten (Rbg)
Rbg yang ditetapkan dalam pasal 2 ordonansi 11 Mei 1927 lembaran Negara No. 22 tahun 1927 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Juli1927 adalah pengganti dari berbagai peraturan yang berupa reglemen yang tersebar dan berlaku hanya dalam suatu daerah tertentu saja, seperti regelement bagi daerah Ambon, Aceh, Sumatera Barat, Palembang, Kalimantan, Minahasa dan lain-lain. Rbg berlaku untuk luar Jawa danMadura.
3. Reglement op de Burgelijke Rechtvordering (Rv)
Rv yang dimuat dalam lembaran Negara No. 52 /1847, mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848 adalah reglement yang berisi ketentuanketentuan hukum acara perdata yang berlaku khusus untuk golongan Eropa dan dipersamakan dengan mereka untuk berperkara dimuka Raad van justitie dan Residentie gerecht. Dalam praktek RV digunakan untuk masalah arbitrase.
4. Burgerlijk Wetboek Voor Indonesia (BW)
BW yang dalam Bahasa Indonesia disebut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat juga sumber hokum acara yang terdapat pada buku IV tentang Pembuktian yang tercantum dalam pasal 1865-1993.
5. Undang-undang No. 14 tahun 1970 yang diamandemen menjadi UU No. 4 tahun 2004 dan diamandemen menjadi UU Nomor 48 tahun 2009 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman yang memuat juga beberapa Ketentuan Hukum Acara.
 6. Di tingkat banding berlaku UU No. 20 tahun 1847 untuk di Jawa dan Madura. Tetapi kemudian oleh yurisprudensi dianggap berlaku seluruh Indonesia. Dengan berlaku UU ini, maka ketentuan dalam HIR/Rbg tentang banding tidak berlaku lagi.
7. UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang diubah menjadi UU No. 5 tahun 2004.
8. Yurisprudensi atau putusan-putusan hakim yang berkembang di lingkungan dan sudah pernah di putus dipengadilan.
9. Adat kebiasaan
Dalam pasal 27 ayat 1 Undang-Undang No 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman bahwa seorang hakim dalam mengadili, mamahmi, dan mengikuti nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Atas dasar pasal tersebut dapat dikatakan bahwa adat dan kebiasaan dalam masyarakat dapat dijadikan sumber hokum.
10. Doktrin
Menurut Sudikno Mertokusumo doktirn atau ilmu pengetahuan dapat dijadikan sumber hukum acara juga, hakim dapat mengadili Hukum Acara Perdata.[4] Sebelum berlakunya UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, doktrin banyak digunakan dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, terutama doktrin atau ilmu pengetahuan hukum yang terdapat pada kitab-kitab fiqih. Hal ini sesuai dengan surat biro peradilan agama No B/1/735 tanggal 18 Februari 1958 sebagai Peraturan Pelaksana Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 1957 tentang pembentukan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura. Dalam surat biro pengadilan terdebut dinyatakan bahwa untuk mendapatkan kesatuan hukum materiil dalam memeriksa dan memutus suatu perkara maka, para hakim peradilan agama dianjurkan untuk menggunakan kitab kitab fiqih sebagai rujukan hukum guna mengambil suatu putusan.
11. Instruksi dan surat edaran Mahkamah Agung
Instruksi dan surat edaran Mahkamah Agung sepanjang mengatur hukum acara perdata dan hukum materiil tidaklah mengikat hakim sebagaimana undang-undang. Akan tetapi instruksi dan surat edaran merupaka sumber tempat hakim menggali hukum acara perdata maupun hukum acara perdata materiil. Contoh yang paling sederhana adalah surat edaran Mahkamah Agung untuk tidak menjatuhkan putusan sandera terhadap pihak yang berperkara.
12. UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No. 9 tahun 1975, UU dan PP ini khususnya menyangkut masalah perkawinan dan perceraian.
13. UU No. 7 tahun 1989 Jo UU Nomor 3 tahun 2006 Jo UU Nomor 50 tahun 2009 tentang peradilan agama juga merupakan sumber hukum acara khususnya di lingkungan peradilan agama.


[1] Drs Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia (Cetakan kedua), Kencana, Jakarta, 2010 Hlm 156.
[2] Ibid Hlm 159
[3] Dr. Mukti Arto SH M.Hum, Hukum Acara Perdata di Peradilan Agama, (cetakan ke enam) TB Rahma, Solo, 2005, Hlm 12
[4] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, Hlm 8.

Komentar

Postingan Populer