LPH: Realisme Hukum


Realisme Hukum
Aliran realisme hukum merupakan aliran yang lahir dari empirisme yang oleh David Hume dipadukan menjadi pengetahuan yang pada intinya mempunyai pandangan bahwa hukum itu didapatkan pada kenyataan empiris (real). Empirisme menolak pengetahuan yang hanya mengandalkan penalaran logis ala rasionalisme abad 18. Ide-ide rasional menurut empirisme bukanlah segala-galanya. Ia tidak bisa diandalkan sebagai sumber tunggal. Ide-ide itu perlu dipastikan kebenarannya dalam dunia empiris. Dari situlah kebenaran sejati dapat diraih.
Realisme hukum adalah suatu aliran pemikiran yang dimulai di Amerika Serikat. Aliran ini dipelopori oleh tokoh-tokoh terkenal dan terbaik dari kalangan realism seperti : John Chipman Gray, Oliver Wendel Holmes, Jerome Frank, Dan Karl Llewellyn. Realisme berarti berhubungan dengan dunia nyata, dunia sebagaimana ia nyatakan berlangsung. Realisme hukum berarti suatu studi tentang hukum sebagai sesuatu yang benar-benar nyata dilaksanakan, ketimbang sekedar hukum sebagai sederetan aturan yang hanya termuat dalam perundang-undangan, tetapi tidak pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, sebagian pakar memandang bahwa pendekatan realis merupakan bagian penting dari pendekatan sosiologi terhadap hukum.Kemudian dalam pandangan penganut
Realisme (para realis), hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu hukum realis hampir tidak terbatas, kepribadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi yang umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil hukum dalam kehidupan.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa substansi dari aliran realisme adalah hukum itu didasarkan pada kenyataan empiris bukan didasarkan pada peraturan perundang-undangan. Hal ini mengindikasikan hukum itu tidak mesti ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam bentuk tertulis. Akan tetapi menurut teori ini, hukum itu apa yang sebenarnya terjadi dalam praktek empiris.
Dilihat dari aspek ontologisnya, realisme hukum mengartikan hukum sebagai manifestasi makna-makna simblok perilaku sosial. Bahkan, Karl N. Llewellyn mengatakan bahwa realisme hukum bukanlah filsafat, tapi teknologi (baca: seni). Lllewellyn menolak aliran realisme hukum dimasukan ke dalam aliran filsafat hukum, ia mengutarakan bahwa terdapat sembilan poin dari realisme hukum, yaitu:
1.      The conception of law in flux, of moving law, and of judicial creation of law.
2.      The conception of law as means to social ends, and not as an end in itself.
3.      The conception of society in flux-faster than law.
4.      The temporary divorce of ‘is’ and ‘ought’ for the purpose of study.
5.      Distrust of traditional legal rules and concepts as descriptive of what courts or people actually do.
6.      Distrust of the theory that traditional prescriptive rule formulations are the main factors in producing court decision.
7.      The belief in grouping cases and legal situations into narrower categories.
8.      An insistence on evaluating the law in terms of its effects.
9.      An insistence on sustained and programmatic attack on the problem of law.
Aspek epistemologis dari realisme hukum ialah fakta konkret secara mutlak. Struktur fakta ini begitu berkuasa sehingga tidak memerlukan struktur aturan untuk memandu cara berpikirnya. Pola penalaran ini dapat dilihat dari cara pandangnya pada setiap kasus yang dinilai unik sehingga tidak memerlukan norma positif, apalagi berupa undang-undang yang menjadi premis mayor yang kemudian dideduksi kepada struktur kasus tersebut. Oleh kare kasus konkret adalah sebagai titik fokus mereka, maka unit analisis dari model penalaran realisme hukum senantiasa mikro. Dalam arti lain, dalam realisme hukum, seorang hakim harus membuat distansi bukan hanya terhadap norma positif, tapi juga terhadap putusan-putusan terdahulu. Setiap kasus menawarkan pola penalaran sendiri-sendiri bergantung struktur faktanya. Secara teoretis, sebanyak apapun kasus yang ada, maka sebanyak itu pula pola penalarannya atau melalui istilah “judicial decision-making is a creative activity.”

Komentar

Postingan Populer