LPH: Model Penalaran Hukum
Model Model Hukum Penalaran
Dalam hukum penalaran terdapat beberapa
model penalaran, namun oleh karena banyaknya model yang tersedia, maka penulis
memilih empat model penalaran atau dapat juga dikatakan sebagai grand theories
yang terdiri dari:
1. Positivisme dan Empirisme Logis
Positivisme yang dirilis oleh August Comte
telah menginspirasi lahirnya Neopositivisme atau positivisme logis sebagai
ajaran baru positivisme yang sebelumnya sempat meredup karena Perang Dunia I.
Pemikiran mengenai Positivisme logi ini diperkenalkan oleh Ernst Mach, Moritz Schlick,
dan Rudolf Carnap. Teori ini berpegang pada empat asas yaitu:
1. Empirisme.
Asas ini berarti mengandalkan pengalam.
2. Positivisme.
Pengetahuan positif berguna untuk membangun masyarakat.
3. Logika.
Harus melalui pemikiran yang logis serta menghilangkan
metafisis.
4. Kritik Ilmu.
Mengkritisi teori lama dan berfungsi untuk
merekonstruksi ilmu/teori yang lama.
Berbeda dengan positivisme logis, empirisme logis
lebih memilih kepada dua asas saja yaitu asas empirisme dan logis.
Kedudukan positivisme logis semakin
terancam karena adanayan Perang Dunia 2 yang menewaskan Ernst Mach dan juga kelompok
yang awalnya membentuk positivisme logis pada akhirnya mendesak untuk
mengembanggkan model penalaran yang baru karena positivisme logis dianggap
tidak mampu untuk menjawab permaslahan yang ada terutama masalah ekonomi, sehingga
melahirkan suatu model penalaran baru yang dinamakan empirisme logis.
Perbedaan antara postivisme logis dan
empirisme logis adalah apabila positivisme logis mendudukan subjek diatas
segalanya dengan kepastian yang tinggi, maka empirisme logis justru
menginginkan komunikasi yang inter subjektif, sekalipun harus mengorbankan
kepastian. Kelebihan Positivisme Logis
adalah bahwa pengetahuan bahwa pengetahuan tidak mungkin lebih pasti daripada
itu, sedangkan kekurangannya adalah
bahwa spenuhnya pengamatan itu bersifat subjektif. Kelebihan emprisme
logis adalah bahwa ia memakai intersubjektivitas sebagai kriteria pengetahuan
ilmiah. Kekurangannya adalah bahwa pengetahuan tidak pernah memberi kepastian.
2.
Rasionalisme Kritis
Muncul terutama untuk mengkritisi
Positivisme Logis. Tokoh besar dibalik kelahiran aliran ini adalah Karl R
Popper (1902-1994) yang lazim dikaitkan dengan asas pokok teorinya tentang
pertumbuhan ilmu, berbeda dengan positivisme dan empirisme Logis yang lebih
menyoroti struktur ilmu.
Popper menolak keras perolehan pengetahuan
ilmiah melalui induksi. Menurutnya mustahil menarik kesimpulan yang berlaku
umum tanpa terikat ruang dan waktu berdasarkan premis-premis spesifik dengan
jumlah yang terbatas. Itulah sebabnya, ia sampai pada kesimpulan bahwa
penalaran yang tepat adalah dengan penalaran deduktif.
Menurutnya pula teori adalah ciptaan
manusia yang hanyalah berupa pendugaan atau pengiraan, yang berarti teori tidak
pernah benar mutlak. Ilmu baru dapat berkembang jika diuji secara
terus-menerus, yang pengujianny dilakukan dengan menunjukkan kesalah (anomali) dari
teori itu sendiri, disni Popper memperkenalnya “falsifikasi” lawan dari
“verifikasi”.
3.
Empirisme Analitis
Empirisme Analitis menggambarkan proses
penelitian ilmiah sebagai siklus (daur). Teori ini timbul dalam hubungan dengan
usaha-usaha untuk menerapkan Positivisme dan Empirisme Logis pada bidang studi
ilmu sosial tertentu. Empirisme Analitis bertujuan untuk menerangkan tentang
apa itu pengetahuan ilmiah, bagaimana ilmu itu berkembang, dan metode
penelitian apa yang cocok dipakai untuk mengembangkan ilmu. Tahap-tahap yang
membentuk siklus empiris dalam pengembangan pengetahuan ilmiah adalah sebagai
berikut:
a. Tahap
Observasi
b. Tahap Induksi
c. Tahap
Deduksi
d. Tahap
Pengujian
e. Tahap
Evaluasi
4.
Hermeneutika dan Konstruktivisme Kritis
Secara etimologis Hermeneutika berasal
dari kata “hermes” nama dewa dalam mitologi Yunani, yang tugasnya menyampaikan
atau menafsirkan pesan dari para dewa kepada manusia. Hermeneunein berarti “to
interpret” atau dalam bahasa Indonesia berate “untuk menafsirkan”. Ada tiga
unsur dalam Hermeneutika, yaitu: (1) Adanya tanda, pesan, berita, yang
seringkali berbentuk teks, (2) Harus ada sekelompok penerima yang
bertanya-tanya atau merasa asing terhadap pesan atau teks itu, dan (3) adanya
pengantara yang dekat dengan kedua belah pihak.
Hermeneutika sangat berkaitan dengan interpretasi atas
simbol-simbol, khususnya bahasa. Dengan demikian, metode penemuan hukum yang
bertumpu pada naskah Peraturan Perundang-Undangan, doktrin, dan sebagainya,
dapat disoroti dengan pendekatan hermeneutis ini. Dalam pandangan filsafat ilmu
dewasa ini, Wuisman berpendapat bahwa Hermeneutika bukan model penalaran yang
seragam. Ada banyak perbedaan dalam hal asas, tujuan, pendekatan, dan
metodenya.
Teori Konstruktivisme Kritis yang merupakan salah satu
teori dalam epistemologi ini diberi nama oleh Wuisman. Ia menggunakan metode
interpretasi (hermeneutics) sebagai pola penalarannya. Konstruktivisme Kritis
ini berangkat dari beberapa asumsi: (1) tidak terdapat hubungan langsung antara
teori (pengetahuan ilmiah) dan kenyataan (empiri); (2) teori tidak dapat
dibuktikan begitu saja kebenarannya secara induktif atau empiri tidak dapat
ditunjukkan begitu saja kebenarannya secara deduktif; (3) apa yang dinamakan
teori dan empiri hanya terdapat dalam suatu “kenyataan” yang hanya dapat
“dikonstruksikan” dalam pikiran, yang kemudian disebut sebagai “kenyataan
konseptual” (conceptual reality); (4) untuk tujuan pengembangan pengetahuan
ilmiah, maka teori dan empiri itu dipertentangkan dalam suatu kenyataan
konseptual melalui bentuk logis formal berupa metode interpretasi (lingkaran
hermeneutis); dan (5) interpretasi itu dikritisi, sehingga jika tidak dapat
ditunjukkan kebenarannya, akan diterima sebagai pengetahuan ilmiah.
Pengembangan pengetahuan ilmiah menurut
Konstruktivisme Kritis dapat dirinci melewati enam tahap, yaitu:
a. Tahap
Pembatasan Permasalahan
b. Tahap
Pembuatan Teori
c. Tahap
Perancangan Pengujian
d. Tahap
Pengumpulan Data
e. Tahap
Pengolahan Data
f. Tahap
Penilaian
Komentar
Posting Komentar