Perlindungan Hukum Hukum Administrasi Negara
Subjek hukum selaku pemikul hak-hak dan
kewajiban-kewajiban (de drager van de
rechten en plichten), baik itu manusia (naturlijke
persoon), badan hukum (rechtspersoon),
maupun jabatan (ambt), dapat
melakukan tindakan-tindakan hukum berdasarkan kemampuan (bekwaam) atau kewenangan (bevoegdheid)
yang dimilikinya. Dalam pergaulan di tengah masyarakat, banyak terjadi hubungan
hukum yang muncul sebagai akibat adanya tindakan-tindakan hukum dari subjek
hukum itu. Tindakan hukum ini merupakan awal lahirnya hubungan hukum (rechtsbetrekking), yakni interaksi antar
subjek hukum yang memiliki relevansi hukum atau mempunyai akibat-akibat hukum.
Agar hubungan hukum antar subjek hukum itu berjalan secara harmonis, seimbang,
dan adil dalam arti setiap subjek hukum mendapatkan apa yang menjadi haknya dan
menjalankan kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka hukum tampil sebagai
aturan main dalam mengatur hubungan hukum tersebut. Hukum diciptakan sebagai
suatu sarana atau instrumen untuk mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban
subjek hukum, agar masing-masing subjek hukum dapat menjalankan kewajibannya
dengan baik dan mendapatkan haknya secara wajar. Disamping itu, hukum juga
berfungsi sebagai instrumen perlindungan bagi subjek hukum.
Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum
berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia
terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung
secara normal, damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum.
Pelanggaran hukum terjadi ketika subjek hukum tertentu tidak menjalankan
kewajiban yang seharusnya dijalankan atau karena melanggar hak-hak subjek hukum
lain. Subjek hukum yang dilanggar hak-haknya harus mendapatkan perlindungan
hukum.
Hukum yang mengatur hubungan hukum antara
pemerintah dengan warga negara adalah Hukum Administrasi Negara atau hukum
perdata, tergantug dari sifat dan kedudukan pemerintah dalam melakukan tindakan
hukum tersebut. Telah disebutkan bahwa pemerintah memiliki dua kedudukan hukum
yaitu sebagai wakil dari badan hukum publik (publiek rechtspersoon, public legal entity) dan sebagai pejabat (ambtsdrager) dari jabatan pemerintahan.
Ketika pemerintah melakukan tindakan hukum dalam kapasitasnya sebagai wakil
dari badan hukum, maka tindakan tersebut diatur dan tunduk pada ketentuan hukum
keperdataan, sedangkan ketika pemerintah bertindak dalam kapasitasnya sebagai
pejabat, maka tindakan itu diatur dan tunduk pada Hukum Administrasi Negara.
Baik tindakan hukum keperdataan maupun publik dari pemerintah dapat menjadi
peluang munculnya perbuatan yang bertentangan dengan hukum, yang melanggar
hak-hak warga negara. Oleh karena itu, hukum harus memberikan perlindungan
hukum bagi warga negara. F.H. Van Der Burg dan kawan-kawan mengatakan bahwa, “De mogelijkheden van rechtsbescherming zijn
van belang wanner de overheid iets heeft gedaan of nagelaten of voornemens is
bepaalde handelingen te verrichten en bepaalde personen of groepen zich
daardoor gegriefd achten”. (kemungkinan untuk memberikan perlindungan hukum
adalah penting ketika pemerintah bermaksud untuk melakukan atau tidak melakukan
tindakan tertentu terhadap sesuatu, yang oleh karena tindakan atau kelalaiannya
itu melanggar {hak} orang-orang atau kelompok tertentu).
Secara umum ada tiga macam perbuatan
pemerintahan yaitu perbuatan pemerintahan dalam bidang pembuatan peraturan
perundang-undangan (regeling),
perbuatan pemerintahan dalam penerbitan keputusan (beschikking) dan perbuatan pemerintah dalam bidang keperdataan (materiele daad). Dua bidang yang pertama
terjadi dalam bidang publik dan karena itu tunduk dan diatur berdasarkan hukum
publik, sedangkan yang terakhir khusus dalam bidang perdata dan karenanya
tunduk dan diatur berdasarkan hukum perdata. Atas dasar pembidangan perbuatan
pemerintah ini, Muchsan mengatakan bahwa perbuatan melawan hukum oleh
pemerintah yang berbentuk melanggar hak subjektif orang lain tidak hanya
terbatas pada perbuatan yang bersifat privaatrechtelijk
saja, tetapi juga perbuatan yang bersifat publiekrechtelijk.
Penguasa dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum karena melanggar hak
subjektiff orang lain, apabila:
1)
Penguasa melakukan
perbuatan yang bersumber pada hubungan hukum perdata serta melanggar ketentuan
dalam hukum tersebut.
2)
Penguasa melakukan
perbuatan yang bersumber pada hukum publik serta melanggar ketentuan kaidah
hukum terssebut.
Di samping dua macam perbuatan pemerintah
tersebut, seiring dengan konsep negara hukum modern yang berorientasi pada
kesejahteraan rakyat (welfare state),
pemerintah juga dilekati dengan kewenangan bebas atau freies Ermessen, yang
jika dituangkan dalam bentuk tertulis akan berwujud peraturan kebijakan. Dengan
demikian, secara garis besar sehubungan dengan perbuatan hukum pemerintah yang
dapat terjadi baik dalam bidang publik maupun perdata, maka perlindungan hukum
akibat dari perbuatan pemerintah juga ada yang terdapat dalam bidang perdata
maupun publik.
1.
Perlindungan Hukum dalam Bidang Perdata
Berkenaan dengan kedudukan pemerintah
sebagai wakil dari badan hukum publik yang dapat melakukan tindakan-tindakan
hukum dalam bidang keperdataan seperti jual beli, sewa menyewa, membuat
perjanjian, dan sebagainya maka dimungkinkan muncul tindakan pemerintah yang
bertentangan dengan hukum (onrechtmatige
overheidsdaad). Berkenaan dengan perbuatan pemerintah yang bertentangan
dengan hukum ini disebutkan bahwa: “De
burgerlijke rechter is op het gebied van de onrechtmatige overheidsdaad bevoedg
de overheid te veoordelen tot betaling van schadevergoeding. Daarnaast kan hij
in veel gevallen de overheid verbieden of gebieden bepaalde gedragingen te
verrichten” (hakim perdata berkenaan dengan perbuatan melawan hukum oleh pemerintah
berwenang menghukum pemerintah untuk membayar ganti kerugian. Di samping itu,
hakim perdata dalam berbagai hal dapat mengeluarkan larangan atau perintah
terhadap pemerintah untuk melakukan tindakan tertentu).
Perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh pemerintah tersebut merujuk pada pasal yang juga berlaku terhadap
perseorangan, yakni Pasal 1365 KUH Perdata, yang berbunyi; “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut”. Ketentuan Pasal 1365 ini telah mengalami pergeseran
penafsiran, sebagaimana tampak dari beberapa yurisprudensi. Secara garis besar
munculnya pergeseran penafsiran ini terbagi dalam dua periode, yaitu periode
sebelum 1919 dan sesudah 1919.
Di Indonesia ada dua yurisprudensi
Mahkamah Agung yang menunjukkan pergeseran kriteria perbuatan melawan hukum
oleh penguasa; pertama, putusan MA
dalam perkara Kasum (putusan No. 66K/Sip/1952), yang dalam kasus ini MA
berpendirian bahwa perbuatan melawan hukum terjadi apabila ada perbuatan
sewenang-wenang dari pemerintah atau merupakan tindakan yang tiada cukup anasir
kepentingan umum; kedua, putusan MA
dalam perkara Josopandojo (putusan No. 838K/Sip/1970), yang dalam kasus ini MA
berpendirian bahwa kriteria onrechmatige overheidsdaad adalah undang-undang dan
peraturan formal yang berlaku, kepatutan dalam masyarakat yang harus dipatuhi
oleh penguasa, dan perbuatan kebijakan dari pemerintah tidak termasuk
kompetensi pengadilan. Putusan MA ini jelas menunjukkan bahwa kriteria
perbuatan melawan hukum oleh penguasa adalah: a) perbuatan itu melanggar
undang-undang dan peraturan formal yang berlaku; b) perbuatan penguasa
melanggar kepentingan dalam masyarakat yang seharusnya dipatuhinya.
Perlindungan hukum bagi rakyat terhadap
tindakan hukum pemerintah, dalam kapasitasnya sebagai wakil dari badan hukum
publik, dilakukan melalui peradilan umum. Kedudukan pemerintah atau
administrasi negara dalam hal ini tidak berbeda dengan seseorang atau badan
hukum perdata, yaitu sejajar sehingga pemerintah dapat menjadi tergugat maupun
penggugat. Dalam konteks inilah prinsip kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law) yang menjadi
salah satu unsur negara hukum terimplementasi. Dengan kata lain, hukum perdata
memberikan perlindungan yang sama baik kepada pemerintah maupun seseorang atau
badan hukum perdata.
2.
Perlindungan Hukum dalam Bidang Publik
Tindakan hukum pemerintah adalah
tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya menimbulkan akibat hukum.
Karakteristik paling penting dari tindakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah
adalah keputusan-keputusan pemerintah yang bersifat sepihak. Dikatakan bersifat
sepihak karena dilakukan tidaknya suatu tindakan hukum pemerintahan itu
tergantung pada kehendak sepihak dari pemerintah, tidak tergantung pada
kehendak pihak lain dan tidak diharuskan ada persesuaian kehendak (wilsovereenstemming) dengan pihak lain.
Ada dua macam perlindungan hukum bagi
rakyat, yaitu peerlindungan hukum preventif dan perlindungan hukum represif.
Pada perlindungan hukum preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan untuk
mengajukan keberatan (inspraak) atau
pendpatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif.
Artinya perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya
sengketa, sedangkan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan
sengketa. Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindak
pemerintahan yang didasarkan kepada kebebasan bertindak karena adanya
perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati
dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi.
Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara perlindungan hukum akibat dikeluarkannya keputusan
dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu melalui upaya administratif dan melalui
PTUN. Ketentuan mengenai upaya administratif ini terdapat dalam Pasal 48 UU N0.
5 Tahun 1986 yang berbunyi sebagai berikut:
1)
Dalam hal suatu
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha negara tertentu, maka
sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya
administratif yang tersedia.
2)
Pengadilan baru
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang
bersangkutan telah digunakan.
Upaya administratif ini ada dua macam,
yaitu banding administratif dan prosedur keberatan. Banding administratif,
yaitu penyelesaian sengketa tata usaha negara dilakukan oleh instansi atasan
atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang disengketakan,
sedangkan prosedur keberatan adalah penyelesaian sengketa tata usaha negara
dilakukan oleh instansi yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan. S.F.
Marbun menyebutkan ciri-ciri banding administrasi yaitu sebagai berikut:
1)
Yang memutus
adalah BTUN yang secara hierarki lebih tinggi daripada Tata Usaha Negara yang
memberi keputusan pertama, atau BTUN lain;
2)
Badan Tata Usaha
Negara yang memeriksa banding administratif atau pernyataan keberatan itu
dappat mengubah dan atau mengganti keputusan Badan Tata Usaha Negara yang
pertama;
3)
Perubahan-perubahan
keadaan sejak saat diambilnya keputusan oleh BTUN pertama dan
perubahan-perubahan keadaan yang terjadi selama proses pemeriksaan banding
berjalan harus diperhatikan;
4)
Penilaian terhadap
keputusan Tata Usaha Negara pertama itu dapat dilakukan secara lengkap, baik
dari segi rechtmatigheid (penerapan
hukum) maupun dari segi doelmatigheid
(kebijaksanaan atau ketepatgunaan). Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak saja
dinilai berdasarkan norma-norma yang zakelijk,
tetapi kepatutan yang berlaku dalam masyarakat, harus merupakan bagian
penilaian atas keputusan itu.
Ketentuan mengenai penyelesaian sengketa
tata usaha negara melalui peradilan tata usaha negara terdapat dalam Pasal 53
ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 yang berbunyi; “Seseorang
atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan
yang beerwenang yang berisi tuntutan agar keputusan tata usaha negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi dan atau rehabilitasi”. Di dalam Pasal 53 ayat (2) UU
No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebutkan mengenai tolok
ukur untuk menilai KTUN yang digugat di PTUN, yaitu sebagai berikut:
1)
Keputusan tata
usaha negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
2)
Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud
diberikannya wewenang tersebut;
3)
Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setelah mempertimbangkan semua kepentingan
yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan
atau tidak pengambilan keputusan tersebut.
Berdasarkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN alasan mengajukan gugatan, yang
terdapat pada Pasal 53 ayat (2) ini ada perubahan yaitu menjadi sebagai
berikut.
Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
1)
Keputusan Tata
Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku;
2)
Keputusan Tata Usaha
Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang
baik.
Dalam penjelasan
huruf b disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Asas-asas umum
pemerintahan yang baik” adalah meliputi atas:
a.
Kepastian hukum;
b.
Tertib
penyelenggaraan negara;
c.
Kepentingan umum;
d.
Keterbukaan;
e.
Proporsionalitas;
f.
Profesionalitas;
g.
Akuntabilitas,
Sebagaimana dimaksud dalam UU No. 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme.
Menurut Sjachran Basah, perlindungan hukum
yang diberikan merupakan qonditio sine
qua non dalam menegakkan hukum. Penegakan hukum merupakan qonditio sine qua non pula untuk
merealisasikan fungsi hukum itu sendiri. Fungsi hukum yang dimaksud adalah
sebagai berikut: pertama, direktif,
sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai
sesuai dengan tujuan kehidupan bernegara; kedua,
integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa; ketiga, stabilitatif, sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan,
keserasian dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat; keempat, prefektif, sebagai penyempurna,
baik terhadap sikap tindak administrasi negara maupun sikap tindak warga
apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat; kelima, korektif, sebagai pengoreksi
atas sikap tindak baik administrasi negara maupun warga apabila terjadi
pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.
Komentar
Posting Komentar