Kedaulatan Rakyat
A. Pendahuluan
Kedaulatan
adalah tentang pemegang kekuasaan (kekuasaan tertinggi atau kedaulatan)
dimana mengarah kepada siapakah yang yang memiliki dana tau memegang di dalam
suatu negara itu.[1] Dalam Undang-undang Dasar Negara kita
sekarang inipun, Undang-undang Dasar 1945, didalam penjelasannya dikatakan
bahwa kedaulatan itu adalah kekuasaan tertinggi.[2]
Tetapi tidak dijelaskan lebih lanjut kekuasaan tertinggi untuk apa dan
bagaimana sifatnya.
Salah seorang sarjana yang pernah memberikan perumusan
tentang kedaulatan, dan bagaimana sifat-sifat kedaulatan itu, adalah seorang
sarjana Perancis yang hidup pada abad ke XVI yang bernama Jean Bodin. Belau
mengatkan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi unrul menentukan hukum
dalam suatu negara, yang sifatnya: tunggal, asli, abadi, dan tidapat
dibagi-bagi.[3]
Namun definisi ini untuk masa sekarang tidak dapat dilaksanakan secara
konsekuen, sebab pada waktu itu ia hanya meninjau souvereiniteit (kedaulatan)
dalam hubungannya dengan masyarakat didalam negeri itu saja yang berarti
perumusannya bersifat intern. Lalu timbul pertanyaan pengertian souvereiniteit
terhadap negara-negara lain karena mau tidak mau suatu negara itu mesti terkena
pengaruh dari hubungan antar negara-negara lain disekitarnya.
Sebagai akibat daripada hal tersebut diatas maka orang
lalu mengenal:
1. Interne souvereiniteit (kedaulatan
kedalam)
2. Externe souvereiniteit (kedaulatan
keluar)
BAB
II
B. Konsep
dasar kedaulatan rakyat
(Teori
kedaulatan rakyat secara das sollen/seharusnya)
Berangkat dari penjelasan tentang apa arti kedaulatan
itu sendiri dan asal-usulnya serta banyak teori-teori kedaulatn yang timbul
dari pemikiran para ahli atau pemikir. Diantara salah satu banyakmya teori
tentang kedaulatan saya akan membahas tentang konsep dasar kedaulatan rakyat.
Ajaran dari kaum monarkomaken,
khususnya ajaran dari Johannes Althusius, diteruskan oleh para sarjana dari
aliran hukum alam, tetapi yang terakhir ini menacapai kesimpulan baru yaitu
bahwa semula individu-individu itu dengan melalui perjanjian masyarakat
membentuk masyarakat dan kepada masyrakat inilah para individu itu menyerahkan
kekuasaannya yang selanjutnya masyarakat inilah yang menyerahkan kekuasaan
tersebut kepada raja, dengan kata lain sesungguhnya raja itu mendapatkan
kekuaasaannya dari individu-individu tersebut.[4]
Lalu timbul pertanyaan dari manakah individu-individu itu mendapatkan
kekuasaannya?. Jawaban mereka (pemikir) ialah bahwa individu-individu tersebut
mendapatkan kekuasaan itu dari hukum alam dari abad ke XVII dan abad ke XVIII.[5]
Perlu diingat kembali bahwa yang
dimaksud dengan individu-individu tersebut atau dengan kata lain rakyat menurut
J.J Rousseau dalam bukunya yang sangat terkenal di seluruh dunia yang berjudul
Contrat Sosial (perjanjian masyarakat),[6]
itu bukanlah penjumlahan daripada individu-individu didalam negara itu
melainkan adalah kessatuan yang dibentuk oleh individu-individu itu yang
mempunyai kehendak dimana diperolehnya dari individu-individu tersebut melalui
perjanjian masyarakat yang disebut kehendak umum atau volonte generale.[7]
Menurutnya dalam keadaan alam bebas ada kekacauaan maka orang memerlukan
jaminan atas keselamatan jiwa miliknya maka mereka lalu menyelenggarakan
perjanjian masyarakat.[8]
Hal yang pokok daripada perjanjian masyarakat ajaran
J.J Rousseu ini adalah, menemukan suatu bentuk kesatuan, yang membela dan
melindungi kekuasaan bersama disamping kekuasaan pribadi dan milik setiap orang
sehingga karena itu semuanya dapat bersat, akan tetapi meskipun demikian
masing-masing orang tetap mematuhi dirinya sendiri, sehingga orang tetap
merdeka dan bebas seperti sedia kala. Dengan diselenggarakan perjanjian
masyarakat itu, berarti bahwa tiap-tiap orang melepaskan semua haknya kepada
kesatuannya yaitu masayarakat. Sebagai akibat diselenggarakannya perjanjian
masyarakat ini ialah :
1. Terciptanya
kemauan umum atau volonte genarale, yaitu kesatuan daripada kemauan orang-orang
yang telah menyelenggarakan perjanjian masyarakat tadi, inilah yang merupakan
kekuasaan tertinngi, atau kedaulatan.
2. Terbentuknya
masyarakat, atau Gemeinschaft, yaitu keastuan daripada orang-orang yang
menyelenggarakan perjanjian masyarakat tadi.
Jadi dengan dengan perjanjian masyarakat telah
diciptakan negara, ini berarti telah terjadi suatu peralihan dari keadaan alam
bebas ke-keadaan bernegara.[9]
Rousseau menganggap bahwa kekuasaan yang ada pada penguasa atau raja itu
sebagai suatu kekuasaan yang diwakilkan saja, bukan kekuasaan asli. Dengan kata
lain kekuasaan raja bersifat pinjaman.[10]
Ajaran Rousseau mengkritik keadaan pada waktu itu dapat diterima oleh rasio, jadi
dapat diakatakan bersifat propagandis, menentang keuasaan raja, dan ingin
menggantikannya sengan system pemerintahan yang dapat diterima oleh rasio. Ini
menumbulkan akibat besar yaitu terjadinya peristiwa revolusi Perancis.
Konsekuensi daripada ajaran Rousseau
ialah:
1. Adanya
hak dari rakyat untuk mengganti atau menggeser penguasa. Ini berhubungan dengan
boleh tidaknya rakyat itu berevolusi terhadap penguasa.
2. Adanya
faham nahwa yang berkuasa itu rakyat atau faham kedaulatan rakyat.
Dengan demikian maka apa yang dimaksud oleh Rousseau
dengan kedaulatan rakyat itu sama dengan suara tebanyak (meederheid besluit).
Oleh karena keputusan suara terbanyak itu harus ditaati, maka keputusan
terbanyak itu sama halnya dengan dictator dari suara terbanyak.[11]
Di sinilah sebenarnya Rousseau tidak konsekuen dengan arti kedaultan rakyat
yang dipergunakan dengan keputusan terbanyak (meederheidbesluit) dan dengan
dictator suara terbanyak (meederheid dictatuur). Sebagai alasan yang dilakukan
oleh Rousseau pada hal ini disamakan oleh karena suara minoritas itu membawakan
kehendak yang tidak sesuai dengan kepentingan umum. Jadi suara minoritas
dianggap sebagai penyelewengan.
Untuk memperoleh kemenangan kemenangan orang berusaha
mendapatkan dukungan sebanyakn-banyaknya dengan jalan apapun asal tujuannnya.
Sehingga ajaran Rousseau selalu bersifat individualistis. Dan karena alam dan
suasana dimana ajaran Rousseau dilahirkan tidak sesuaidengan kehidupan
masyarakat Indonesia, maka ajaran ini sukar pula untuk dipraktekan di
Indonesia. Indonesia telah mengenal dan memiliki suatu sistem yang sesuai
dengan kepribadian dan budaya nasional bangsa Indonesia sendiri, yaitu sistem
mufakat.
Sistem ini diperoleh dari musyawarah dengan kata
sepakat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Sistem ini dicari kesamaan
pendapat yang merupakan kepentingan bersama untuk diabdikan bersama karena hal
ini dianggap yang benar. Dalam sistem mayoritas suatu kebenaran seringkali
melalui perbedaan pendapat.[12]
Selain itu sistem mayoritas terdapat suatu hal yang kurang meyakinkan apakah
keputusan dengan suara terbanyak dalam arti lebih dari separoh itu mencerminkan
kepentingan umum. Apa sebab kurang meyakinkan, oleh karena suara terbanyak pada
hakekatnya tergantung pada kelebihan satu suara.[13] Karena
itu muncul variasi-variasi dalam suara terbanyak dengan jumlah suara 2/3 atau
3/4 dari anggota yang hadir (absolut mayority).
BAB
III
C. Kedudukan
teori kedaulatan rakyat dalam kehidupan demokrasi
(fenomena
kedaulatan terkait das sein/realitanya)
Sebagaimana yang telah diketahui dari penjelasan pada
bab sebelumnya teori kedaulatan rakyat menghasilkan sebuah perjanjian
masyaratak dimana para individu menyerahkan hak dan kekuasaannya kepada yang
disebut “masyarakat”. Lalu timbul pertanyaan kedudukan teori kedaulatan rakyat
seperti apa konstelasinya dalam kehidupan demokrasi? Dari berbagai macam teori
kedaulatan rakyat yang ada, salah satunya ajaran John Locke yang memberikan
pendapatnya tentang hal demikian.
Menurut John Locke, tujuan negara ialah perjainjian
masyarakat untuk membentuk masyarakat dan selanjutnya negara itu memelihara dan
menjamin terlaksananya hak-hak azasi manusia.[14]
Jika kembali ke masa Socrates dimana jaman Yunani Kuno menggunakan sistem
demokrasi langsung dikarenakan negara
Yunani terbagi menjadi polis polis yang luas wilayahnya masih kecil.[15]
Sesudah perang dunia II kita melihatgejala bahwa secara
formil demortasi merupakan dasar dari kebanyakan negara di dunia. Menurut suatu
penelitian yang diselenggarakan oleh UNESCO dalam tahun 1949 maka “mungkin
untuk pertama kali dalam sejarah demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling
baik dan wajar untuk semua sistim organisasi politik dan sosial yang
diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh.[16]
Namun realita pada masa sekarang demokrasi yang dianut
di Indonesia, yaitu demorasi berdasarkan
pancasila,masih dalam taraf perkembangan dan mengenai sifat-sifat dan
ciri-cirinya terdapat pelbagai tafsiran serta pandangan.[17] Tetapi yang tidak dapat
disangkal ialah bahwa beberapa nilai pokok dari demikrasi konstitusional cukup
jelas tersirat di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Selain
Jika kita mencarikan bagi demokrasi suatu dasar dengan
memakai cara Rosseau, yang berpendapat bahwa pengorganisasian dan malah
memperbincangkan masalah saja dapat merugikan kemurniankehendak rakyat, maka
kita tak akan menemukannya sama sekali.[18]
Kenyataannya daripada kehendak, dan bukan kemurnian nya atau bekerjanya yang
tidak memihak, itulah dasar daripada demokrasi.
Kehendak
umum adalah satu-satunya dasar yang permanen bagi suatu pemerintah. Negara
lebih kokoh, tentram hingga dapat menahan pukulan krisis yang besar. Oleh
karenanya bahwa negara demokrasi yang sebenarnya adalah jauh lebih aman
daripada anacama revolusi jika dibandingkan sengan suatu oligarki. Maka
kehendak rakyat masihlah sangat sempurna dan kurang berkembang, tetapi
sekurang-kurangnya ia adalah cukup nyata untuk dapat memberikan suatu
pensifatan baru pada kekuasaan politik.[19]
BAB
IV
D. Implikasi
kedaulatan rakyat dalam kehidupan demokrasi
(
Analisis benturan antar das sein dan das sollen )
Bahwa keseluruhan rakyat harus
memiliki dan harus menjalankan hak untuk memilih suatu pemerintah tidaklah
berarti bahwa rakyat bersatu daripada sebelum diadakan pemilihan-pemilhan itu.[20]
Makin demokratis sifatnya konstitusi maka makin biasa pulalah perbedaan antara
politik-politik yang mewujudkan pendapat-pendapat daripada pemilih. Kedaulatan
tertinggi menjadi lebih sulit dan tidak pasti lagi daripada sebelumnya.[21]
Dimana kehendak umum sebaliknya makin
menjadi bertambah kuat. Dimana tidak ada massa rakyat yag tidak dihapuskan hak
pilihnya maka disitu orang menganggap bahwa kemungkinan akan adanya revolusi
makin lebih kecil, itulah keuntungan dari implikasi kedaulatan rakyat dalam
kehidupan demokrasi.
Tetapi kehendak rakyat mempersatukan
siapa saja yang menang dengan yang kalah. Ia bukan kehendak untuk suatu politik
tetapi kehendak untuk negara. Dalam nyatanya ia tidak menentukan sesuatu apa,
kecuali ketertiban dan didalam ketertiban itu segala sesuatu dapat ditentukan.
Oleh karena itulah maka kedaulatan batas yang selalu bergeser itu, yang disebut
kehendak rakyat dipercyai untuk memegang dominasi yang jauh lebih pasti
daripada yang mungkin didapatkan sendiri dengan sifatnya yang demikian itu.[22]
Kehendak rakyat sebagi pemegang
kedaulatan tertinggi, tidak mungkin mempunyai sendiri tanggung jawab
konstitusionil, sebab kepadanya berada berada kekuasaan pemutusan yang
terakhir. Apa yang ia ciptakan dapat ia menumbangkan. Inilah dasr sebenarnya
daripada penguasaannya terhadap pemerintah, bukan karena ia dapat menuntut
penguasa di muka pengadilan untuk tindakan-tindakannya yang telah lampau dengan
cara-cara yang kasar daripada demokrasi Yunani yang lampau, tetapi karena ia
dapat memenuhi atau menghalangi ambisi pokok daripada penguasaan, ialah untuk
mengendalikan kekuasaan.[23]
Inilah arti daripada pemerintah yang
bertanggung jawab, nbahwa ia harus berlangsung selama dan hanya selama ia dapat
mendapatkan dukungan mayoritas, dalam suatu sisitim yang diterima oleh dukungan
yang minoritas. Cukuplah bila pemegang kedaulatan tertinggi memberi kuasa
kepada suatu pemerintah dan mengatakan untuk itu bertindaklah atas namaku,
tetapi bertindaklah menurut apa yang kamu pandang baik.[24]
Hubungan yang wajar antara para
pemilih dengan wakil-wakilnya menyerupai pada tingkat yang berlainan yaitu
hubungan antara badan legislative dengan badan eksekutif. Kehendak rakyat hanya
menunjukan arah atau lebih tepat menentukan alternatif tujuan yang dikemukakan
padanya yang mana yang akan ditempuh.[25]
Jika kehendak rakyat sudah meilih suatu pemerintah maka ia harus menerima pula
keharusan-keharusan yang berhubungan dengan pilihannya tadi. Yang bermula
adalah perwakilan, kemudia selesainya adalah tanggungjawab.
Sebagai contoh di Inggris
pertumbuhan politiknya telah mencipyakan suatu pertanggungjawaban bersama
dengan sitem kabinetnya. Dengan kata lain, hak mereka untuk memegang pimpinan
bersandar pada dukungan parlemen yang sebaliknya bertanggung jawab pula pada
rakyat.[26]
Di Amerika Serikat sebagian tanggung jawab adalah langsung oleh karena itu
tidak dikoordinasikn. Alasannya yaitu beranggapan bahwa sebagai yang
diperuntukan badan eksekutif, bertanggung jawab lansung pada rakyat adalah
lebih darih kurang efektifnya daripada pemilihan yang tidak langsung. Demokrasi
telah menjadikan penguasaan suatu kepercayaan dan penguasa menjadi abdi maupun
tuan sekaligus, terlindungi daripada godaan-godaan tertentu daripada kekuasaan.[27]
Kepentingan umum, kesejahteraan umum, tidak hanya menjadi tujuan yang jelas,
tetapi juga merupakan satu-satunya alasan untuk membenarkan adanya pemerintah
sendiri.
[1] Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2005, hlm 150
[2] Ibid hlm 151
[3] Ibid hlm 151
[4] Ibid, hlm 160
[5] Ibid, hlm 160
[6] Ibid, hlm 118
[7] Ibid, hlm 160
[8] Ibid, hlm 119
[9] Ibid,hlm 120
[10] Ibid, hlm 120
[11] Bintan,hlm 124
[12] Bintan, hlm 125
[13] Bintan, hlm 126
[14] Ibid, hlm 110
[15] Ibid, hlm 15
[18] Mac iver hal 180
[19] Ibid, hal 198
[20] Ibid, hal 181
[21] Ibid,hal 181
[22] Ibid, hal 182
[23] Ibid, hal 183
[24] Ibid, hal 183
[25] Ibid, hal 187
[26] Ibid, hal 187
[27] Ibid, hal 207
Komentar
Posting Komentar