LPH: Penalaran Hukum (Aspek Ontologis, Epistimologis,dan Aksiologis)


Gambar terkait


Assalamualaikum wr wb

Apa kabar netijen semua? semoga baik-baik semua ya, nah pada kesempatan kali ini saya mau nulis lagi di blog ini setelah sekian lama absen nulis dikarenakan banyak kesibukan (sok sibuk). Kali ini saya akan menulis tentang penalaran hukum (Aspek Ontologis, Epistimologis,dan Aksiologis) untuk memenuhi tugas amata kuliah Logika dan Penalaran Hukum, namun dalam mengerjakan tugas ini saya tidak merasa terpaksa (ada dikit) dan terbebani, justru dengan adanya tugas ini lebih memacu saya untuk menulis lagi dan berbagi pengetahuan sama netijen semua. Saya mengambil referensi dari buku yang berjudul Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum yang ditulis oleh Prof. B.Arief Sidharta, SH., MH. Kalau dalam penulisan ini saya ada kekurangan atau ketidakjelasan mohon dimaafkan karena saya juga masih belajar, apabila netijen sekalian punya pedapat lain saya persilahkan untuk menyampaikan pendapatnya di kolom komentar sekalian bisa nambah pengetahuan. Nah langsung aja nih tanpa basa basi lagi langsung aja dimulai.

Aspek Ontologis, Epistimologis,dan Aksiologis

1. Aspek Ontologis
            Aspek ontologis antara lain mempersoalkan apa yang merupakan hakikat dari sebuah realitas, dari sini muncullah berbagai pendekatan diantaranya ada yang melihat suatu realitas sebagai sebuah materi, ada juga yang melihat realitas berupa ide. Dari dua pendekatan ini muncul beberapa pandangan, yaitu pandangan monoistis dan dualisme, pandangan monoistis menganggap bahwa dari dua pendekatan yang tersdia diatas hanya memilih salah satu saja (alternatif), sebaliknya pandangan dualistik menganggap bahwa hakikat realitas harus menggunakan kedua pendekatan tersebut.

Materialisme menganggap bahwa hakikat dari segala sesuatu  yang ada itu adalah materi.Tidak mungkin suatu yang tidak ada (non materi) dapat menghadirkan sesuatu yang materi. Seperti diumpamakan hakikat manusia yang terdiri dari roh dan badan apabila roh/jiwa hanya berdiri sendiri tanpa ada benda materi (dalam hal ini badan manusia) maka menjadi tidak berarti. Dalam perkembangannya materialisme telah berkembang menjadi beberapa versi pemikiran seperti materialisme-rasionalistis, materialisme parsial, materialisme-antropologis, materialisme-dialektis, atau materialisme-historis.

Kemudian ada pandangan yang kedua yaitu Idealisme yang merupakan kebalikan dari materialisme. Menurut idealisme ide lebih hakiki jika dibandingkan dengan materi karena ide merupakan “pengada”. Ada banyak pembedaan idealisme, menurut Nicholas Rescher ia membaginya menjadi dua kelompok yaitu kelompok pertama adalah causal idealism kelompok ini memandang bahwa segala sesuau itu lahir dari aktivitas mental yang sesuai dengan hukum kausalitas (sebab akibat), kelompok yang kedua yaitu supervenience idealism mereka juga berpendapat segala sesuau itu lahir dari aktivitas mental, hanya saja mereka tunduk kepada ketergantungan eksistensial. Plato menjelaskan aliran berpikir idealisme, ia menyebutakan bahwa materi itu bisa saja hilang, namun ide tentang materi tersbut tidak akan hilang. Misalnya, seekor kuda ia dapat berbeda-beda warna,berat, dan penampakannya atau menjadi muda, tua, sehat, sakit, dan mati. Jadi apabial kuda itu mati atau musnah maka materi dari kuda itu “hilang” namun sebaliknya ide tentang kuda itu akan terus ada (abadi) kendati materi dari si kuda itu telah musnah.

Semua wujud realitas di seluruh alam semesta dapat dijadikan sebagai objek/contoh, namun pada kesempatan ini yang menjadi objeknya adalah realitas hukum. Polemik seputar aspek ontologis dapat dirumuskan dengan saderhana yaitu apakah hukum iu termasuk ke dalam materi, atau ide (monoistis) atau bahkan hukum itu dapat dimasukkan keduanya sekaligus? Cicero seorang filsuf romawi memberikan tanggapan akan rumusan tersebut ia berpendapat bahwa hukum itu menyatu dengan masyarakat, namun dilain sisi hukum juga merupakan akal budi setiap manusia. Hal tersebut menunjukkan keterkaitan anatara konsep hukum dengan kebudayaan manusia. Hukum bukan hanya produk politik melainkan hukum itu juga produk kebudayaan manusia.
Kemudian Clifford Geertz memberikan pandangan kebuadayaan manusia dan kaitannya dengan hukum, ia membaginya ke dalam beberapa wujud (bentuk), yaitu:
1.         Wujud kebudayaan yang pertama bersifat abstrak, yang berupa aturan mengenai tata kelakuan seorang manusia, serta mengendalikan dan memberi arahan atas perbuatan tersebut. Contoh dari wujud yang pertama ini adalah norma, perundang-undangan, asas keadilan, dan kebenaran.
2.        Wujud kebudayaan yang kedua ialah sistem sosial yang terdiri dari aktivitas interaksi manusia, semua bentuk interaksi ini membentuk pola tertentu berdasarkan tata kelakuan (wujud kebudayaan yang pertama). Pada wujud kebudayaan ini sudah lebih konkret karena sudah bisa diamati secara langsung .
3.         Wujud kebudayaan yang ketiga, ialah semua benda yang bersifat fisik seperti artefak, candi, smapai ke chip komputer.

2. Aspek Epistimologis
            Manusia dapat mengembangkan pengetahuaannya karena mereka memilik dua modal, yaitu bahasa yang komunikatif dan kemampuan berpikir, dengan dua modal tersebut manusia dapat melakukan kegiatan berpikir untuk menemukan pengetahuan yang benar. Proses kegiatan berpikir ini disebut dengan penalaran. Penalaran dimaknai oleh Lorens Bagus dalam tiga pengertian:
a. Proses menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan.
b. Penerapan logika dan atau pola pemikiran abstrak dalam memecahkan masalah atau tindakan perencanaan.
c. Kemampuan untuk mengetahui beberapa hal tanpa bantuan langsung persepsi indrawi atau pengalaman langsung.

Ia menambahkan bahwa penalaran itu mempengaruhi dan membentuk setiap kegiatan sadar. Secara sederhana suatu proses penalaran dalam penelitian ini lebih diartikan sebagai proses atau kegiatan berpikir menurut pengertian pertama dan kedua yang telah disampaikan oleh Lorens Bagus. Penalaran hanya terbatas pada kegiatan yang rasional, hal ini disebabkan karena penalaran memang memiliki keterkaitan dengan logika. Sehingga logika perliu dibantu oleh disiplin lain yaiut bahasa, bahasa diperlukan karena objek yang digunakan. Dengan demikian suatu penalaran yang mengandalkan rasionalitas  harus berkolaborasi dengna modalits seperti intusis, dan empiris. Sayangnya kolaborasi tersebut  tidak sepenuhnya terjadi paling tidak dalam wacana filsafat penngetahuan (epistimologi) ,sehingga terjadi dikotomi antara aliran empirisme dengan  rasionalisme.

Empirisme berasal dari kata empirik yang berarti pengalaman, empirisme adalah aliran dasar dalam epistimologi yang menganggap sumber satu-satunya pengetahuan bagi manusia adalah pengalaman, tepatnya melalui observasi indrawi. Sebab, pancaindra manusia tidak mungkin melakukan kebohongan sehingga apabila terjadi kesalaan itu disebabkan kareana kesalahan interpretasi manusia itu sendiri. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh teori tabula rasa, yang mana pada dasarnya manusia lahir tidak membawa pengetahuan apa-apa pengalaman hiduplah yang mengajarkan manusia segala seusatu sehingga manusia itu dapat menghimpun pengetahuan yang telah ia dapatkan. Dengan kata lain seorang manusia menjadi tahu berkat pengalaman yang telah ia dapatkan.

Kemudian muncul aliran lain yaitu rasionalisme yang berkebalikan dari empirisme, aliran ini menganggap sumber pengetahuan satu-satunya adalah akal budi manusia, kendati demikian rasionalisme tidak menolak peran indrawi (seperti yang digunakan di aliran empirisme) dalam proses pencarian manusia akan pengetahuan, namun peran indrawi di aliran ini hanya sebagai perangsang kerja akal. Hal ini dibuktikan dengan ketidakpercayaan akal secara otomatis terhadap pengetahuaan yang diperoleh secara indrawi, akal akan bekerja untuk menguji pengetahuan yang didapat oleh indra apakah pengetahuan tersebut masuk akal atau tidak. Dengan demikian menurut kaum rasionalis jelas akal berada diatas pengalaman indrawi.

Untuk mengurangi pembenturan diantara dua aliran di atas, Imanuel kant berpendapat bahwa tidak perlu untuk mempertentangkan kedua aliran tersebut karena keduanya dapat saling mengisi. Maka dari itu, kant membangun filsafat kritis yang berpedoman bahwa "pemikiran tanpa isi adalah kosong, sedangkan intuisi tanpa konsep-konsep adalah buta". Isi dari intuisi disini menyangkut data empiris, sementara konsep adalah bentuk pikiran.

3. Aspek Aksiologis

Kiranya sudah mejadi aksiomabahwa tindakan manusia adalah fungsi dari kepentingannya. Pemenuhan kepentingan inilah yang menjadi tujuan dari tindakannya, bahkan dalam seluruh kehidupan seseorang. Jika suatu tindakan dilatarbelakangig oleh kehendak (motivasi), maka tentu saja menjadi pertanyaan besar tentang ada tidaknya kebebasan kehendak manusia dalam bertindak. 

Aliran yang disebut "Religious Absolutism" termasuk kelompok manusia yang tidak punya kehendak bebas. Menurut aliran ini manusia dibatasi oleh kekuatan yang berasal dari luar jiwa manusia (Tuhan). Dalam sejarah Islam ada kelompok yang menganggap bahwa keseluruhan tindakan manusi adalah manifestasi dari tindakan Tuhan. Tuhan telah menetapkan dan manusia hanya menjalankan sesuai apa yang telah digariskan oleh Tuhan (absolut), kalau diibaratkan manusia itu seperti mobil yang dikendalikan oleh remote control jadi segala kehendak manusia itu telah diatur oleh takdir Tuhan. Kelompok ini dinamakan Jabariyah

Kemudian pandangan aliran diatas dibantah oleh tentang intersepenndensi manusia. Dalam sejarah Islam ada kelompok yang bernama Qadariyah mereka tidak secara total menolak adanya pengendalian Tuhan dalam kehendak manusia, namun pengendalian itu hanya sebatas pada penciptaan, memeliara, menggerakkan, atau mengembsngkan segenap ciptaannya menurut hukum yang tertib dan tetap.

Ada banyak aliran  pemikiran yang menelaah aspek aksiologis dari tindakan manusia, yaitu:

  • Idealisme etis adalah aspek aksiologis yang meyakini bahwa baik buruknya suatu tindakan telah ditetapkan oleh nilai-nilai spiritual.
  • Deontologisme-etis, kata deontologi diambil dari kata deon (bahasa Yunani) yang artinya apa yang harus dilakukan (kewajiban). Deontologisme dalam hal ini menilai baik buruk suatu tindakan dari tindakan tersebut sendiri (missal, melihat pada hukum positif), bukan melihat pada aspek akibat dari tindakan tersebut.

  • Teleologisme-etis atau yang disebut juga sebagai eudemonisme, adalah pandangan aspek aksiologis yang mengukur baik-buruk sesuatu dari hasilnya. Eudemonisme ini melihat bahwa segala tindakan manusia pasti meiliki tujuan tertentu, baik untuk diri sendiri (egoism), maupun untuk masyarakat di sekitarnya (utilitarianisme).

Nah sekian dulu nih tulisan untuk kali ini semoga apa yang telah disampaikan di atas dapat berguna bagi netijen semua, apabila ada kesalahan mohon dimaafkan namanya juga manusia tempatnya salah dan dosa, sampai jumpa di tulisan berikutnya ya



Wassalamualikum wr wb

................................................................................................................
Daftar Pustaka

Arief Sidharta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013.




Komentar

Postingan Populer