MK lembaga negative legislator atau positive legislator?

Assalamualaikum wr wb

Gimana semua kabarnya? Semoga pada sehat semua ya , karena kebetulan sekarang momennya lagi bulan Ramadhan saya ingin ngucapin selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankannya semoga pada bulan puasa kali ini kita bisa menahan hawa nafsu kita (termasuk gibahin temen wkwkw). Pada kali ini saya mau membahas mengenai posisi Mahkamah Konstitusi itu perannya sebagai negative llegislator atau positive legislator? Nah, sebelum mulai saya mau nanya dulu nih kalian tau ga negative legislator sama positive legislator? bagi yang belum tau saya mau kasih sedikit mengenai kedua hal tersebut, fyi negative legislator itu adalah badan/lembaga yang membatalkan suatu undang-undang, nah kalo positive legislator itu adalah badan yang menciptakan suatu norma baru misalkan DPR dan Presiden.Nah langsung aja nih kita langsung ke pembahasan.
Dalam salah satu kewenangnannya MK diberikan kewenangan oleh Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945 baik itu secara materil maupun secara formil. Dalam melakukan pengujian tersebut, MK berhak untuk membatalkan atau menghapus norma yang terkandung dalam suatu Undang-Undang ataupun apabila norma yang terkandung dalam peraturan tersebut dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Pasal 57 ayat (1) dan (2) UU 8/2011 berbunyi:
1.      Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
2.   Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa pembentukan undangundang dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Kemudian dijelaskan dalam Pasal 57 ayat (2a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan
Putusan Mahkamah Konstitusi tidak memuat:
·      Amar selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2);
·      Perintah kepada pembuat undang-undang; dan
·    Rumusan norma sebagai pengganti norma dari undang-undang yang dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Dari muatan pasal diatas dapat kita lihat bahwa sebenarnya MK itu berperan  sebagai negative legislator (pembatal/penghapus norma), namun dalam perkembangannya MK sudah beberapa kali bertindak sebagai positive legislator (pembuat norma baru) yang mana hal ini meruapakan kewenangan Presiden dan DPR. Jika dilihat melalui sudut pandang Undang-Undang sudah jelas bahwa yang tindakan yang dilakukan oleh MK sebagai positive legislator menyalahi aturan. Salah satu contoh adanya peran MK sebagai positive legislator dapat dilihat pada putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 yang memberlakukan kembali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan untuk menciptakan keadilan dan kemanfaatan dalam masyarakat. Dari putusan tersebut dapat dilihat bahwa MK sebagai lembagaa yang meguji Undang-Undang telah melampaui batas kewenangannya.


Namun jika dilihat dari sisi lain para hakim MK mencoba untuk mewujudkan tujuan hukum sebagaimana disampaikan oleh Gustav Radbruch yaitu bahwa hukum itu harus memberi kepastian, memenuhi rasa keadilan, dan membawa kemanfaataan. Jika dilihat dari contoh diatas Hakim MK tidak semata bertumpu pada kepastian hukum saja, melainkan dengan membuat norma baru tersebut para hakim ingin memwujudkan rasa keadilan dan kemanfaatan. Selain itu juga para Hakim MK juga berupaya untuk mengisi kekosongan hukum yang diakibatkan dari adanya putusan pembatalan UU tersebut, jika dilihat dari kasus di atas bahwa MK membatalkan Undang-Undang No 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air karena dinilai tidak memberikan keadilan dan tidak membawa kemanfaatan bagi masyarakat dalam mengakses sumber air dan pengairan sehingga terjadi kekosongan hukum dan tidak adanya kepastian. Maka untuk mengantisipasi hal tersebut MK menciptakan sebuah norma baru dengan memberlakukan kembali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan. Apabila pada kasus diatas MK tidak bertindak sebagai positive legislator dengan menciptakan norma baru, maka akan terjadi kekosongan hukum yang berkepanjangan. Hal ini dikarenakan adanya konflik kepentingan yang sering terjadi dalam proses pembentukan perundang-undangan sehingga akan memerluakan waktu yang panjang. Oleh karena itu, saya mengapresiasi bahwa langkah yang diambil oleh Hakim Konstitusi sudah tepat dengan tidak terpaku dan bertumpu pada undang-undang saja melainkan memperhatikan kebutuhan masyarakat akan keadilan dan kemanfaatan dari suatu produk hukum.

Nah skian dulu untuk postingan untuk hari ini. kalom ada yang mau kasih kritik ataupun saran bisa langsung disampaikan aja di kolom kommentar yang tersedia, wassalamualaikum wr wb

Komentar

Postingan Populer